Mengukir Jejak dengan Kata: Demi Sebaik-baik Manusia

Pada suatu sore yang tenang di bulan Maret 2015, saya merenung di depan layar komputer. Dunia blogger yang dulu saya kenal telah berubah. Begitu pesat perkembangan dunia ini, dari sekadar platform personal hingga menjadi panggung besar di mana para penulis berlomba-lomba menyebar kebaikan. Tiba-tiba, rasa rindu menulis di blog muncul kembali, menghentak pikiran seperti nada nostalgia yang lama terpendam.

Saya ingat kembali masa-masa awal mengenal blog, hampir sepuluh tahun lalu, ketika blog pertama saya, "Di Sini Aku Bernyanyi Menjadi Saksi," lahir pada September 2006. Blog itu seperti arsip pribadi, tempat saya menyimpan lintasan waktu dan kisah-kisah yang pernah saya lalui. Saya masih tertawa sendiri ketika membaca tulisan-tulisan lama yang terasa polos dan lucu. Blog ini bukan hanya sekadar halaman digital, melainkan prasasti yang merekam jejak perjalanan hidup.

Di tahun-tahun itu, menulis di blog, terasa lebih dari sekadar mencurahkan isi pikiran. Blog adalah jembatan silaturahmi, penghubung antara penulis dan pembaca, bahkan antar sesama penulis. Setiap tulisan membuka ruang bagi percakapan, diskusi, dan interaksi yang tak terduga. Di sanalah, silaturahmi virtual menjadi nyata, menumbuhkan rasa kebersamaan di dunia maya.

Namun, kehidupan berubah. Ketika saya mengakhiri masa lajang pada Mei 2009, prioritas pun bergeser. Menjadi suami, kemudian ayah, membuat jarang menyentuh blog. Aktivitas lebih banyak tersedot ke media sosial seperti Facebook, tempat yang lebih instan untuk berinteraksi. Blog-blog lain yang pernah dibuat di WordPress, Tumblr, hingga Kompasiana pun mulai ditinggalkan, tertinggal seperti buku yang tak tersentuh di rak.

Kini, di tengah hiruk-pikuk internet yang semakin meriah, merasa ada dorongan kuat untuk kembali menulis di blog. Ada keinginan untuk ikut ambil bagian dalam "fastabiqul khairat," berlomba-lomba dalam kebaikan. Nampak banyak blogger sukses yang menebarkan manfaat melalui tulisan-tulisan mereka. Bukan soal mengejar popularitas, tapi soal kontribusi. Mampu berbagi ide, pengalaman, atau gagasan yang berguna bagi orang lain sudah menjadi kepuasan tersendiri.

Di sisi lain, menekuni profesi advokat juga memberi warna baru dalam perjalanan ini. Demi menyajikan layanan hukum yang maksimal,  Saya dirikan web profesional, www.ifadvokat.com, yang sudah berjalan lebih dari satu tahun. Web ini menjadi wadah untuk menyajikan konten jasa hukum, memberikan informasi bagi klien, serta menunjukkan profesionalisme dalam bidang yang saya tekuni. Namun, terasa masih ada ruang bagi sisi personal saya yang tak bisa dituangkan dalam situs formal seperti itu.

Maka lahirlah kembali blog personal ini, www.irfanfahmi-law.blogspot.com, sebagai rumah bagi sisi manusiawi seorang pengacara. Di sini saya bisa menulis lebih bebas, tentang opini, gagasan, pengalaman hidup, esai, cerpen, hingga sekadar catatan cerita sehari-hari. Blog ini adalah cerminan diri saya yang apa adanya, sebuah ruang di mana saya bisa berkata, "Lawyer juga manusia." Kami, para pengacara, juga butuh bersosialisasi dan berinteraksi di dunia maya, seperti halnya pengguna internet lainnya. Ada kalanya kami harus melepaskan dasi dan toga, lalu menulis dengan santai dan ringan, tertawa dan bercanda.

Dalam perjalanan ini, saya teringat sebuah hadis Nabi Muhammad SAW: "Khairun nas, anfa'uhum linnas," sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Hadis ini menginspirasi saya untuk terus berusaha menebarkan manfaat, tak peduli seberapa kecil dampaknya. Bagi saya, sukses bukanlah soal popularitas atau materi, melainkan tentang bagaimana kita bisa memberikan kebaikan dan menjadi berguna bagi orang lain.

Semoga blog ini bisa menjadi wadah silaturahmi yang menghubungkan saya dengan para pembaca dan sobat maya. Salam hangat, dan jabat tangan erat dari saya, seorang pengacara yang sedang belajar mencoba kembali menulis blog dan berbagi.

Irfan Fahmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar