Minggu, 25 Februari 2007

Dunia Advokat: Antara Idealisme dan Provit Oriented

Seputar Advokat

Kalian tahu kan kata “advokat”? Saya yakin istilah “advokat” bukan lagi istilah yang asing buat kalian. Sebelumnya kata “advokat” lebih populer dikenal orang dengan sebutan “pengacara.” Namun Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, telah mengganti istilah “pengacara” dengan “advokat.” 

Pada tulisan ini, saya mau berbagi cerita tentang seputar dunia advokat, yang saya geluti sejak April 2004 silam hingga kini. Bergelut di dunia advokat adalah sebuah pilihan jalan hidup yang tak mudah dijalani bagi seorang mantan demonstran seperti saya. Yang sewaktu masa kuliah punya segudang idealisme memperjuangkan keadilan rakyat di bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial. Mengapa? 

Karena dunia advokat menyajikan banyak tantangan di sana. Terlebih tantangan untuk meneguhkan idealisme atau sekedar mencari keuntungan provit semata. Menjadi pejuang keadilan atau menjadi mafia peradilan. Di hadapkan pilihan-pilihan itu, membuat saya khawatir tidak tahan menghadapi godaan yang mungkin saja akan datang bertubi-tubi. Semoga saja, proses penggemblengan saat ini oleh para senior, membuat saya memiliki kedewasaan, jam terbang, serta mental/watak dan nurani dalam melewati hari-hari di dunia advokat. Amin… 

Selanjutnya, saya ingin jelaskan seputar dunia advokat. Apa itu advokat? Menurut Undang-undang (UU) Advokat, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Advokat. 

Dengan definisi ini, maka kedudukan seorang advokat dalam proses penegakan hukum dapat disejajarkan dengan aparat penegak hukum lain. Yaitu Hakim, Jaksa, dan Polisi. Misalnya saja, dalam hukum acara pidana (KUHAP), mengatur bahwa seorang yang diancam pidana lebih dari 5 tahun, maka wajib untuk didampingi penasehat hukum (advokat). Artinya, bahwa keberadaan advokat merupakan kelengkapan yang harus ada dalam proses penegakan hukum. Keberadaannya adalah upaya jaminan agar keadilan hukum bisa ditegakkan. Itulah mengapa salah satunya profesi advokat disebut sebagai profesi yang terhormat (officium nobilium). Di negara Amerika, advokat dipandang sebagai warga negara kelas 1. Itupun katanya, saya juga belum merasakan seh. hehehe... 

Apa itu jasa hukum? 

Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. 

Apa itu klien? Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat. 

Bagaimana cara menjadi advokat? 

Pasal 3 ayat 1 UU 18/2003 tentang Advokat mengatur tentang syarat seseorang bisa menjadi advokat. Yaitu:

  1. Warga negara Republik Indonesia; 
  2. Bertempat tinggal di Indonesia; 
  3. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; 
  4. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
  5. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
  6. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
  7. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
  8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  9. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

Dari sekian syarat itu, alhamdulillah saya sudah melewati semuanya. Mudah-mudahan pada Februari 2008 nanti, kartu izin advokat saya sudah dapat dikeluarkan oleh PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), selaku institusi yang berwenang mengeluarkan kartu advokat. Bila kartu izin advokat saya sudah keluar, berarti saya sudah dapat membuka praktek sendiri sebagai advokat. 

Namun, sebelum kartu advokat saya keluar, PERADI mengeluarkan kartu izin advokat sementara. Pada 22 Februari 2007 lalu, saya mendatangi kantor PERADI di Menara Kebon Sirih, kawasan Jakarta Pusat untuk mengambil kartu izin advokat sementara. Bentuknya ternyata seperti kertas KTP (Kartu Tanda Penduduk). Jadi harus kita laminating (press) dulu agar tidak mudah rusak akibat terlipat. Dengan kartu itu, maka saya sudah sah untuk terlibat dalam penanganan kasus baik di Pengadilan maupun di luar Pengadilan. Dengan catatan, terdapat Advokat Pendamping dalam surat kuasa penanganan kasus tersebut. 

Bagaimana advokat mendapatkan honor atas jasanya? 

UU Advokat mengatur tentang honorarium yang diterima oleh seorang advokat. Yaitu bahwa advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya. Adapun besaran nilai Honorarium ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, yakni antara Advokat dengan Kliennya. 

Dengan begitu, berarti tidak ada penyeragaman nilai honorarium. Antara advokat yang satu dengan yang lain bisa jadi berbeda-beda nilai honorarium jasanya. Perbedaan itu ditentukan lebih pada banyak faktor. Tapi yang jelas, jam terbang dan track record si Advokat menjadi salah satu faktor penentu seberapa “kecang argometer” yang dipasang oleh si Advokat. 

Bisakah Advokat memberikan Jasa Hukum secara cuma-cuma? 

Tentu saja bisa. Bahkan UU Advokat menyatakan bahwa seorang Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Jadi, seorang Advokat tidak boleh menolak untuk memberikan jasa hukum dengan memberikan bantuan hukum kepada orang yang meminta bantuannya untuk mendapat keadilan, meski orang tersebut tidak mampu memberikan honorarium. 

Misalnya saja, kelompok masyarakat kecil yang awam hukum, seperti pedagang kaki lima, petani, buruh, pekerja rumah tangga, dan lain-lain, adalah kelompok yang rentan mendapat diskriminasi hukum. Dalam proses hukum yang mereka alami, mereka amat membutuhkan jasa bantuan hukum dari seorang advokat yang dapat membela hak-haknya sebagaimana diakui oleh hukum. Bilamana mereka datang kepada seorang Advokat untuk meminta bantuan hukum, maka Advokat tersebut wajib untuk membantunya, dan tidak boleh menolak karena alasan tidak ada honor yang diterimanya. 

Namun sayangnya aturan seperti ini, ternyata hanya gagasan mulia di atas kertas. Di lapangan ternyata praktiknya jauh dari harapan. Banyak advokat yang enggan untuk membantu orang-orang tak mampu. Kalau pun dibantu, bantuannya hanya sekedar saja, tidak maksimal. Ke depan, diperlukan suatu regulasi khusus di bawah UU yang sekiranya mengatur tentang pemberian jasa hukum kepada orang-orang yang tak mampu. Hal ini lah yang sebenarnya juga diamanatkan dalam UU Advokat.

*****

Perkenalan dengan Dunia Advokat

Persentuhan saya dengan dunia advokat, dimulai sejak saya mengikuti pelatihan Pengacara untuk Pembela HAM (Training Lawyer for Human Right Defender) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) pada 1-5 Maret 2004 silam.

PBHI adalah sebuah lembaga berstatus organisasi masyarakat (Ormas) yang berdiri sejak tahun 1996. PBHI bergerak di bidang pelayanan hukum dan berjuang mempromosikan prinsip HAM di Indonesia. Di antara kegiatan PBHI adalah, bantuan hukum cuma-cuma, kampanye, monitoring dan juga melakukan pelatihan. Salah satunya pelatihan “Pengacara Pembela HAM”. 

Sejarah kelahiran PBHI terkait dengan situasi konflik di tubuh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di era tahun 1995-1996. Saat itu YLBHI sedang dilanda konflik internal, antara pengurus harian dengan dewan pendiri. Sebagian pengurus harian menganggap bahwa dewan pendiri terlalu mengintervensi kebijakan yang merupakan domain otoritas pengurus harian. Ketika konflik kian mengeras, akhirnya sebagian pengurus harian memilih keluar dari YLBHI, dan kemudian membentuk sebuah lembaga baru yang menjadi antitesa dari sistem organisasi di YLBHI. 

Lalu berdirilah PBHI. Pak ‘Hendardi’ kemudian terpilih menjadi ketua badan pengurus dari periode 1996 hingga 2004. Pada periode 2004-2007, Johnson Panjaitan, S.H. dipercaya menakhodai PBHI. Di bawah asuhan ‘bang’ Johnson inilah, saya banyak digembleng dan ditempa agar bisa menjadi seorang pengacara pembela HAM yang hebat seperti dirinya. Sebuah pengalaman berharga buat saya ‘dididik’ olehnya. 

“Terimakasih bang...!” 

Pada masa akhir era Hendardi ini, sebuah pelatihan pengacara dilaksanakan, dan saya terlibat di dalamnya sebagai peserta. Pelatihan ini dilaksanakan selama 5 hari (1 s/d 5 Maret 2004). Atau berdekatan dengan hari wisuda saya. Di mana pada hari Sabtunya, 6 Maret 2004, saya mengajak kedua orang tua saya ke kampus untuk sekedar membahagiakan keduanya saat melihat anak sulungnya di wisuda. 

Lalu pada akhir Maret 2004, saya diminta bergabung untuk mengkuti program magang di PBHI yang akan dimulai pada awal April 2004. Saat itu tawaran tersebut merupakan pilihan yang dilematis. Karena di saat yang sama, sobat karib saya mengajak bergabung menjadi jurnalis pada sebuah harian terkemuka di Jakarta. Setelah sedikit perenungan, akhirnya saya memilih menggeluti dunia Advokat dengan mengikuti program magang di PBHI. 

Sejak April 2004 di PBHI itulah hingga kini, berbagai pengalaman menangani kasus-kasus Pidana dan Perdata baik di dalam maupun di luar pengadilan menjadi jam terbang yang berharga buat saya. Penanganan kasusnya bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah. Di antaranya, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan terakhir di Papua (termasuk yang kini disebut dengan Provinsi Papua Barat). 

Semua pengalaman berharga itulah yang banyak membantu saya lulus dalam ujian advokat pada 4 Februari 2006 lalu. Kelulusan ini saya anggap sebagai kejutan yang sangat luar biasa. Karena di antara 8000 orang yang mengikuti ujian dari seluruh Indonesia, hanya 1100-an orang yang lulus. Dan saya adalah salah satunya. Namun sobat senior saya kurang beruntung. Dia tidak lulus. Sebagai juniornya, saya sempat merasa tidak enak hati. Apa boleh buat, keberuntungan ternyata ada pada saya, meski saya lebih junior di bandingnya. 

Meski kelulusan ini dianggap biasa-biasa saja oleh sebagian kecil sobat-sobat saya, namun tak mengurangi sikap rasa syukur saya kepada Tuhan. Sebagai wujudnya, saya buat pesta sederhana bersama sobat-sobat saya di PBHI. Acara syukuran ini cukup mengharukan. Karena diselenggarakan saat tangan kanan saya masih terbalut perban, karena luka patah tulang akibat musibah kecelakaan. 

Ujian advokat yang diselenggarakan PERADI ini, memang tergolong sulit. Soalnya terdiri dari dua kategori soal. Pilihan ganda dan essai. Pilihan ganda terdiri dari 120 soal, dengan jatah waktu 120 menit. Artinya 1 menit harus bisa menjawab 1 soal dengan cara mewarnai lingkaran dengan pensil 1B. Lalu soal essai, terdiri dari 2 pilihan soal dengan jatah waktu 120 menit. Yaitu soal membuat gugatan serta surat kuasa, dan soal tentang seputar hukum arbitrase. 

Alhamdulillah, saat menghadapi ujian ini, saya mempersiapkannya dengan cukup matang. Di antaranya melakukan diskusi intensif membahas soal-soal di masa lalu (era ujian pengacara di Pengadilan Tinggi) dengan 2 orang sobat karib saya di Bogor. Sekitar 2 kali pertemuan diskusi saya lakukan. Diskusi di mulai dari jam 20.00 hingga jam 03.00 dini hari. 

Tentu saja pendekatan secara rohani dengan Tuhan, tidak ketinggalan saya lakukan. Hampir setiap malam seusai shalat Isya, menjelang tidur, saya berdoa agar Tuhan memberikan kepercayaan diri menghadapi ujian ini. Mengapa? Karena yang saya butuhkan adalah kepercayaan diri. Dan bukan kecerdasan serta ingatan kuat atau apa pun. Begitu pun hal yang sama kelak akan saya lakukan. Yaitu berdoa agar Tuhan memberikan saya kepercayaan diri untuk menemui orang tua dari seorang gadis, yang akan saya minta anak gadisnya menjadi ibu dari anak-anak saya kelak. Hehehe... amin. 

Depok, 24 Februari 2007