Pagi itu, Senin 8 Agustus 2016, ketika matahari baru saja mulai merayap di ufuk timur, aku menyusuri jalan sempit menuju rumah seorang teman lama. Dahulu, ia seorang seniman, seorang penyair yang selalu membawa aroma mimpi-mimpi besar dalam setiap pertemuan. Kini, ia hidup dari kolam-kolam lele, menggantikan kanvas dan pena dengan air keruh dan benih ikan.
Aku datang dengan sedikit perasaan bersalah, karena absen di pesta pernikahannya. Ia menyambutku dengan senyum lebar, seolah waktu tak pernah membelah kita. Di depan secangkir kopi panas, obrolan hangat mengalir, mengurai berbagai pertanyaan yang sejak lama kusimpan tentang pilihannya beralih profesi. Di sudut pikiranku, ada sedikit rasa heran: seorang seniman menjadi peternak lele? Apa yang mendorongnya?
Dia mulai bercerita, dengan tenang, dengan kata-kata yang terasa jujur dan dalam.
“Bro,” katanya sambil menatap jauh, “memilih jadi peternak lele itu gak segampang kelihatannya. Banyak yang bilang usaha ini rentan rugi. Tapi gua gak langsung percaya gitu aja. Gua coba survei, ngobrol sama mantan-mantan peternak lele yang sudah gulung tikar. Dari situ gua paham, ternyata bukan semata-mata karena mereka gak bisa beternak atau gak laku jualannya."
Dia berhenti sejenak, mengaduk kopinya. Aku menunggu, penasaran.
“Terus kenapa mereka bisa gagal?” tanyaku.
“Banyak faktor, Bro. Kebanyakan mereka gagal bukan karena gak bisa beternak, tapi karena gaya hidup yang gak beres, dan yang paling parah, karena gak jujur dalam berbisnis.”
"Hmmm gak jujur? Maksud lu gimana?" Aku mendekat, ingin mendengar lebih jelas.
“Misalnya gini, kalo lu pesen seribu ekor benih lele ke gue, tapi gue kasih cuma sembilan ratus ekor, apa lu bisa tahu kalo kurang seratus? Siapa sih yang bakal mau ngitung satu-satu, kan?” katanya sambil tersenyum tipis. “Banyak yang ngira ini jalan pintas buat untung. Tapi lu tau gak? Itu malah jadi bumerang. Lele-lele di kolam yang lain malah mati gak jelas. Gue percaya, bro, ada tangan Tuhan yang balas. Cepet atau lambat.”
Aku tertawa kecil, tapi di balik canda itu ada sesuatu yang menyentak. Bisnis lele, pikirku, mungkin sederhana di permukaan. Tapi temanku ini sudah meraciknya dengan filsafat yang begitu dalam. Dalam bisnis ini, dia bilang, setiap perilaku, sekecil apa pun, akan kembali padamu. Tuhan tidak tidur.
“Lu ngerti kan, Bro?” lanjutnya. “Kita mengurus makhluk hidup. Kalo kita gak hati-hati dalam bersikap, baik sama ikan atau sesama manusia, efeknya langsung kena. Dan gua yakin, cuma dengan menjaga kehormatan dan kejujuran, usaha ini bisa berkah.”
Pikiranku melayang pada profesiku sendiri, profesi yang juga memerlukan kehormatan dan integritas. Aku sudah hampir sepuluh tahun menekuni dunia pembela hukum, berurusan dengan orang-orang yang membawa masalah, harapan, dan kepercayaan mereka kepadaku. Apa yang diceritakan temanku ini seakan mengingatkanku pada prinsip-prinsip dasar profesiku, bahwa seperti merawat kolam lele, membela orang adalah tentang menjaga kejujuran dan kehormatan.
Ketika seorang pembela mulai bermain-main dengan tipu daya, entah itu dalam menyelewengkan fakta, menghindari kebenaran, atau melayani klien dengan motivasi yang gelap, maka ia sudah mengabaikan hakikat profesinya. Di sinilah letak kemerosotan yang sering luput disadari. Seperti ikan yang mati di kolam tanpa alasan, keadilan pun tak akan bertahan di tangan yang tidak jujur.
Di antara aroma kopi dan udara pagi yang perlahan hangat, aku merenung dalam-dalam. Profesi pembela, sama seperti bisnis lele ini, memerlukan kehormatan yang harus dijaga oleh pelakunya sendiri. Jika integritas itu goyah, hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan, malah bisa menjadi ilusi. Dalam ruang sidang, orang sering memainkan fakta dengan sihir retorika, mencoba membalut kebohongan agar tampak manis dan memikat.
“Profesi ini,” gumamku pada diri sendiri, “dulu mungkin sulit untuk dimasuki, tapi sekarang terasa lebih mudah untuk dicapai.” Lalu di mana letak tantangannya? Tantangannya bukan hanya pada seberapa banyak orang bisa masuk ke dunia ini, tetapi bagaimana mereka menjaga profesi ini tetap terhormat, tetap setia pada tujuan utamanya: membela keadilan.
Aku teringat pada mimpi yang dulu sering kupegang, harapan bahwa manusia dapat dimanusiakan oleh manusia, bahwa hukum bukan sekadar kata-kata dalam buku tebal yang berdebu. Tapi dengan kondisi saat ini, apakah itu hanya akan menjadi mimpi di siang bolong? Aku tak tahu. Aku hanya bisa berusaha semampuku. Selebihnya, Tuhan yang menentukan.
Kami menutup pagi itu dengan anggukan kecil, seolah menyepakati bahwa meski kami berbeda jalan profesi, prinsip kami masih sama. Di dunia yang sering kali menguji kejujuran dan kehormatan, kami paham, hanya dengan menjaganya kami bisa bertahan dan tetap menjadi manusia.
Pondok Aren, 9/9/2016
- IF -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar