Minggu, 06 September 2015

Kala Pembela Menantang Nalar Jurist: Kisah di Balik Ruang Sidang

Di ruang sidang yang tenang, seringkali ketegangan terselip di antara dialog formal yang mendebarkan antara Pembela dan Jurist. Di sini, sang Pembela kerap harus bermain di antara dua peran: menjadi penegak keadilan dan penjaga marwah profesi. Dalam atmosfer serius dan berdebat, ada momen di mana logika dan nurani Pembela diuji, ketika nalar Jurist seakan berlari jauh dari apa yang disebut “kewajaran hukum.”

Perdebatan dimulai dari hal sederhana: sesi pertanyaan. Jurist, yang tampaknya kurang bisa membedakan saksi fakta dari saksi ahli, melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik. "Saudara saksi, apakah menurut pendapat saksi telah terjadi pelanggaran hukum dalam kegiatan pengadaan ini?" tanyanya, seolah mencari pembenaran dari orang yang bukan ahli.

Sontak, Pembela berdiri. "Interupsi, Yang Mulia! Ini saksi fakta, bukan saksi ahli. Mohon tidak ditanyakan pendapatnya..."

Namun, Jurist tak mengalah. Dengan nada tinggi dan nada tegas, ia menggebrak meja. "Kamu jangan interupsi saya! Hak interupsi hanya pada saat penuntut mengajukan pertanyaan, bukan saya."

Pembela, masih hijau, terdiam. Ia menggaruk kepala, mempertanyakan haknya dalam hati, “Apa benar saya tak bisa interupsi saat Jurist bertanya?” Ia menahan diri, namun momen itu menyisakan tanda tanya yang tajam, menyusup dalam benaknya.

Lain cerita, lain pula babak perjuangan. Kini, dalam sebuah perkara perdata, Jurist yang berbeda menolak kehadiran Pembela. Alasannya? Kartu tanda anggota sang Pembela telah kadaluwarsa. Kali ini, Pembela tak lagi ragu. Ia berdiri dengan keyakinan dan melawan keputusan Jurist dengan argumentasi yang memukau.

"Ibu Jurist," ucapnya, nada hormat bercampur tegas, "Saya sudah mengajukan perpanjangan kartu anggota pertengahan tahun lalu. Organisasi kami belum mengeluarkan kartu baru, bukan hanya kepada saya, tetapi kepada seluruh pembela yang menjadi anggota organisasi tersebut. Mohon ibu Jurist dapat memaklumi."

Jurist tetap tak bergeming. "Tidak bisa begitu. Hari ini Anda dianggap tidak hadir."

Pembela kaget, tapi tidak gentar. "Yang Mulia, jika Yang Mulia berpendapat bahwa saya ilegal hanya karena kartu anggota telah habis masa berlakunya, mohon ditunjukkan pasal yang menyatakan seorang Pembela kehilangan profesinya hanya karena kartu tersebut kadaluwarsa. Seorang pembela hanya dapat dihentikan oleh organisasi yang menaunginya, bukan oleh masa berlaku kartu.”

"Jika KTP Anda sudah kadaluwarsa, apakah itu berarti Anda bukan lagi warga negara Indonesia?" tanyanya, menembakkan analogi tajam.

Jurist tetap bergeming, “Tetap saya anggap Anda tidak hadir di sidang hari ini.”

Pembela tersenyum tipis, tahu langkah selanjutnya. "Baik, Yang Mulia. Kalau begitu, silakan saja tolak gugatan saya. Saya akan uji alasan ini di forum banding dan kasasi, serta melaporkannya ke pengawas yang berwenang."

Jurist mulai goyah, dan nada tegasnya melemah. "Baiklah, Anda saya anggap hadir hari ini, tapi janji, besok bawa bukti pengajuan perpanjangan kartu."

Sang Pembela tersenyum, mengelus dada. Ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal logika hukum yang kerap berbenturan dengan ego dan formalitas yang tak lagi relevan. Ia sadar, banyak Jurist yang jujur, bernalarkan hukum progresif, dan terbuka. Tetapi ada pula yang logika hukumnya tak mudah dicerna.

Di ruang sidang yang sunyi itu, ia tahu, perdebatan belum selesai. Akan ada saatnya ia dan Jurist kembali bertemu dalam duel nalar dan ego, di mana kebenaran akan diuji di antara kalimat-kalimat tajam dan ketukan palu yang menegaskan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar