
Di tengah gejolak rasa itu, saya tersadar; sudah lima tahun saya menjalani peran ini. Lima tahun sejak Tuhan mengamanahkan putri kecil bernama NAF dalam hidup saya. Waktu seperti berlari tanpa henti. Bayi perempuan yang lahir pada tanggal 15 Juni 2010, tepat jam delapan pagi itu, kini menjelma sosok mungil yang menghadirkan begitu banyak warna dalam hidup kami. NAF, dengan gelak tawanya yang khas, telah membuat ruang-ruang hati terisi, meski ia juga membawa cerita tentang tanggung jawab yang tak pernah selesai.
Malam ketika ia lahir, kenangan itu tak pernah usang. Dunia sedang riuh dengan pertandingan Piala Dunia, tetapi saya punya pertandingan yang jauh lebih berharga. Di sebuah ruang bersalin sederhana, saya berada di sisi bundanya NAF, menyaksikan setiap bukaan demi bukaan. Sungguh, dalam benak terlintas ingin rasanya berada di luar, menunggu kabar di balik pintu seperti ayah-ayah dalam sinetron. Tapi di sanalah saya, berdiri kaku, menyaksikan kelahiran yang akan selamanya mengubah hidup. Tangis pertamanya memecah sunyi, dan ketika saya melantunkan azan, air mata mengalir, terbata-bata di sela-sela kalimat doa. Di situlah, saya resmi menjadi seorang ayah.
Warna-Warni Bahagia, Tumpukan Tanggung Jawab
NAF kini tumbuh, mengisi hari-hari kami dengan keceriaan yang sulit diukur. Dalam tiap tawa dan tangisnya, dalam setiap baju dan mainan yang tak pernah habis dibeli, ada kepuasan yang tak bisa dinilai dengan uang. Sebuah kesadaran datang perlahan; bahwa rupiah yang keluar untuk anak, adalah bagian dari 'rezeki anak', yaitu rezeki yang Tuhan titipkan melalui mereka, dan dalam wujud yang kadang tak terduga.
Saya pun bertemu dengan kenyataan itu. Betapa rezeki seakan mengalir begitu saja, cukup untuk menanggung kebutuhan NAF. Banyak teman bercerita hal yang sama; hidup mereka tak sama setelah kehadiran anak, sebagian bilang bertambah, sebagian bilang berkecukupan, meski secara kasat tampak tak ada perbedaan. Begitu pun saya, melihat bahwa tugas sebagai ayah adalah suatu keajaiban tersendiri, karena setiap kebutuhan yang ada, entah bagaimana, selalu tercukupi.
Merawat dengan Sabar, Mengubah dengan Doa
Namun, perjalanan ini tak selalu mudah. NAF, di usianya yang ke-5 ini, sudah punya selera makannya sendiri, sayangnya, ia tak menyukai sayur, padahal saya penggemar berat sayur asem. NAF lebih memilih ayam goreng cepat saji dan sesekali mau menyantap lele goreng. Pola makannya yang unik membuat saya terus belajar; menerapkan teknik dari berbagai teori, termasuk NLP yang saya kenal. Hal-hal kecil seperti ini, sekilas tampak remeh, tetapi bagiku adalah wujud cinta yang terus-menerus diuji oleh sikap dan perilaku baru dari NAF.
Setiap kali ia bersin, muncul tingkah yang selalu mengundang senyum: “Haaasyin... cukeee!” serunya. Dari mana kata “cuke” itu muncul, saya tak pernah tahu, namun rasa penasaran membawa saya mencari cara untuk mengajarinya kata yang lebih sopan. Kini, kebiasaan itu sudah hilang, dan di setiap keberhasilan kecil seperti ini, ada kebahagiaan yang besar.
Menyusuri Jalan sebagai Ayah, Berteman dengan Waktu
Lima tahun telah berlalu, dan di setiap tahunnya, ada pelajaran baru, ada pengalaman berharga yang tak ternilai. Hari ini, di ulang tahunnya yang ke-5, saya ingin ia tumbuh bahagia, menjalani hari-hari sebagai anak-anak dengan dunianya sendiri, bebas dari beban yang terlalu cepat datang.
Seiring doa yang terus mengiringi setiap langkahnya, saya menatap perjalanan kami ke depan. Ada rasa kantuk yang menghampiri, tapi di sudut hati, rasa bahagia mengembang.
Selamat ulang tahun, nak. Ayah akan selalu ada di sini, mengiringi setiap langkah kecilmu, semoga Tuhan memberi kita cukup waktu untuk bersama merayakan setiap detik kebahagiaan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar