Senin, 07 September 2015

Menulis Tesis (Semestinya) Mudah dan Menyenangkan

Di penghujung Agustus 2015, tanpa sorak sorai, genap sudah satu dekade semester masa studi pascasarjana saya lalui. Menelurkan ‘kitab’ bernama 'tesis' hasil penelitian yang akhirnya ‘dihalalkan’ oleh para penguji. Sungguh, rasa syukur tak terperi, tapi bukan tanpa jejak tempaan: perjalanan panjang, stres, marah, bahkan getir kecewa, bak embun dingin yang selalu membuntuti langkah.

Setiap hari rasanya seperti dikejar bayangan tugas, tenggat, dan harapan-harapan yang kerap terlalu tinggi. Sesederhana impian untuk segera menggantung toga magister dan melihat orang-orang terdekat tersenyum bangga. Namun, realitas dunia kerja, dan situasi kampus yang kadang ‘tak bersahabat’, memperpanjang jalan cerita hingga lima semester lebih dari waktu ideal.

Saat tagihan kuliah terus membengkak dan kalender melompat dari satu semester ke semester berikutnya, saya hanya bisa tertawa lelah. Cuma sepotong tawa untuk menjaga kewarasan; siapa sangka, tesis yang seharusnya memberi warna pada kehidupan akademik, malah menjadi momok menyesakkan. Tapi, di balik perjalanan panjang dan jerih payah itu, ada sejumput hikmah yang tak ternilai, pelajaran hidup yang menuntun saya pada tekad baru.

Pelajaran di Balik Menulis Tesis

Menulis tesis itu, saya pikir, seharusnya bukan beban. Apalagi bagi mahasiswa yang mencintai dunia ilmu, seharusnya prosesnya menyenangkan. Namun nyatanya, banyak dari kita yang menyelami tesis malah terbenam dalam tekanan. Saya mengenal banyak kawan sejawat yang awalnya idealis, penuh semangat akademik, namun begitu berhadapan dengan tesis, mendadak kehilangan daya.

Namun, kali ini saya ingin fokus pada hikmah yang lahir dari pengalaman ini. Saya bertekad, jika suatu saat takdir membawa saya ke hadapan mahasiswa sebagai seorang dosen, saya ingin mempermudah jalan mereka. Saya ingin menjadi pendidik yang bisa menghadirkan sukacita dalam proses penyusunan karya ilmiah mereka. Jika kelak saya ditunjuk sebagai pembimbing, saya ingin menjadi sahabat diskusi, memantik wawasan kritis mereka, bukan sebagai hakim yang memvonis.

Di dunia pendidikan, relasi dosen-mahasiswa masih sering dibatasi oleh sekat-sekat ‘feodal’. Padahal, di era saat ini, seorang dosen tak boleh lagi mendominasi dengan ego yang membenarkan diri sendiri, menganggap mahasiswa tak pernah benar. Saya ingin menghapus tembok-tembok semacam ini, dan belajar mengendalikan sikap angkuh seorang ‘pendidik’ yang terkadang menyelinap tanpa sadar.

Menguji Bukan Mengadili

Jika saya sebagai dosen penguji kelak, saya berjanji untuk tidak mengadili hasil penelitian mahasiswa saya seakan ia tak layak. Saya mungkin tak selalu sepakat dengan analisis mereka, namun yang perlu diuji adalah metode berpikir ilmiah yang mereka gunakan, bukan hasilnya semata. Sepanjang argumen mereka sudah tersusun dengan baik melalui logika ilmiah, saya akan mengangkat topi sebagai bentuk penghargaan atas jerih payah kerja intelektual mereka.

Jika di depan saya seorang mahasiswa datang dengan skripsi, maka saya akan membimbing mereka tanpa sedikit pun rasa benci. Kalaupun suatu hari saya marah, biarlah kemarahan itu berasal dari kasih sayang, bukan amarah tanpa sebab. Saya berjanji tak akan pernah meluapkan kekecewaan dengan memaki atau merendahkan, apalagi melakukan tindakan tidak terhormat seperti merobek skripsi mahasiswa.

Perdebatan yang Memperkaya, Bukan Menghakimi

Bila ada diskusi yang memanas, saya ingin menjaga percakapan tetap dalam kerangka ilmiah. Jika saya kelak sebagai dosen, saya tak ingin buru-buru mematahkan argumen mahasiswa, tetapi akan memandu mereka dengan pertanyaan-pertanyaan kunci, memberi ruang untuk merenung, hingga mereka sendiri menemukan celah dalam argumen yang mereka buat.

Mengajar untuk Belajar

Mengajar seharusnya tidak menjadi panggung ego, melainkan sarana belajar pula bagi dosen. Semakin tinggi jam terbang mengajar, seharusnya semakin banyak ilmu yang didapat, tak hanya oleh mahasiswa tetapi juga dosen itu sendiri. Saya ingin menjadi pendidik yang terbuka, yang tak segan mengakui bahwa belajar adalah alur yang dua arah. Mahasiswa menimba ilmu pada dosennya, dan dosen tak menutup diri dari belajar hal-hal baru dari mahasiswanya.

Menulis Tesis: Semestinya Mudah dan Menyenangkan

Saya membayangkan, menulis tesis itu seharusnya jadi momen penuh optimisme. Cukup dengan lima elemen: rumusan masalah, teori hukum sebagai landasan analisis, metode penelitian, struktur penulisan, dan pemahaman standar teknis ilmiah. Lima elemen ini bisa menjadi panduan yang memudahkan, bukan beban.

Itulah tekad saya, impian untuk menjadi bagian dari proses menyenangkan bagi mahasiswa yang gemar menimba ilmu, dan bukan momok yang mengaburkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar