Senin, 18 November 2024

Selamat Jalan Pengacara Bernyali di Tengah Konflik

Minggu malam (17/11/2024), suasana di Rumah Duka RSPAD terasa haru biru menyertai wajah-wajah sendu yang berkumpul. Saya bersama rekan-rekan PBHI lainnya berada di sana, di tengah kerumunan yang datang melayat, memberi penghormatan terakhir kepada seorang pengacara perempuan senior anggota PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia), yang telah banyak menorehkan jejak dalam dunia advokasi, Lamria Siagian. 

Kami memanggilnya, “Kak Lam,” sosoknya kini telah terbujur kaku, namun meninggalkan jejak keberanian yang tak akan terlupakan.

Lamria bukan pengacara biasa. Ia adalah sosok yang, bagi saya, merepresentasikan keberanian sejati dalam membela keadilan. Pada tahun 2004, saat situasi di Aceh memanas dan konflik bersenjata yang berdampak pada tragedi kemanusiaan, Lamria menunjukkan nyali yang luar biasa. Ia dan dua rekannya, pengacara anggota PBHI, memutuskan melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Aceh Selatan untuk sebuah misi mulia: membela Bestari Raden, seorang aktivis lingkungan yang dituduh melakukan makar.

Di masa itu, tuduhan makar bukan perkara enteng, ancamannya bisa maksimal hukuman mati, bahkan 20 tahun penjara. Konflik berkepanjangan antara kombatan dengan aparatur negara membuat segala bentuk perlawanan atau suara kritis terhadap pemerintah mudah dilabeli sebagai ancaman. 

Bestari Raden, aktivis yang gigih memperjuangkan hak masyarakat adat dan lingkungan, menjadi salah satu korban tuduhan tersebut. Banyak yang meragukan apakah ia akan mendapatkan peradilan yang adil, mengingat Aceh kala itu berada dalam status darurat militer. Penegakan hukum di wilayah konflik, berpotensi hanya formalitas belaka, terbungkus ancaman dan intimidasi. Banyak pengacara tak bisa berbuat banyak menghadapi praktik peradilan yang demikian. Bahkan pengacara turut menjadi korban apabila aksi pembelaan advokasinya tak disukai oleh mereka yang ingin penegakan hukum ditegakkan setengah hati.

Di tengah situasi penegakan hukum yang tidak kondusif inilah, keputusan diambil oleh para pegiat HAM: Bestari harus dibela oleh tim pengacara gabungan dari Aceh dan Jakarta. Lamria Siagian adalah salah satu yang bersedia mengambil tantangan tersebut. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar sidang biasa, melainkan sebuah upaya melawan ketidakadilan yang terstruktur di bawah bayang-bayang kekerasan.

Saat itu, saya sendiri sedang menjalani masa magang sebagai relawan PBHI di Banda Aceh selama kurang lebih 4 bulan. Saya ikut menemani perjalanan kak Lamria dan tim pengacara Jakarta melintasi jalur pantai barat Aceh menuju Tapaktuan sejauh 400-an kilometer, dengan memakan waktu lebih dari 8 jam perjalanan darat. Jalan yang kami lewati dipenuhi pos-pos penjagaan kombatan. Ketegangan begitu terasa, setiap kali kami harus memperlambat kendaraan di hadapan pos penjagaan aparat keamanan. Di sepanjang perjalanan, kami tak pernah tahu apa yang bisa terjadi. Jika di jalur searah depan kami, ada kendaraan aparat yang sedang lambat berjalan beriringan, kami terpaksa harus harus sabar antri di belakang dengan jalan perlahan dalam waktu yang relatif lama. Jika coba-coba ingin menyalip, itu artinya mau cari penyakit.

Namun, tak ada rasa gentar di wajah Lamria berada di dalam wilayah darurat konflik, dimana insiden kekerasan bisa pecah kapan saja. Kak Lamria hanya duduk tenang di dalam ruang sidang, matanya menatap lurus ke depan. “Kita datang untuk membela kebenaran,” katanya pelan, namun penuh keyakinan. Kata-katanya terngiang di kepala saya hingga saat ini, mengingatkan bahwa keadilan memang tidak selalu datang tanpa resiko.

Meski sidang kasus Bestari berjalan di bawah bayang-bayang praktik peradilan sesat, namun kak Lamria tak mundur sedikit pun. Kehadirannya di ruang sidang bukan hanya formalitas. Ia hadir sepenuh hati, membawa argumen dan bukti yang maksimal untuk membela Bestari yang sudah lelah menghadapi tuntutan tak berdasar. Di tengah intimidasi yang kerap dirasakan pengacara di masa konflik, kak Lamria berdiri tegak, menjadi perisai bagi kliennya dan simbol harapan bagi masyarakat sipil yang terpinggirkan.

Kenangan saya tentang Kak Lamria tidak hanya berhenti di Tapaktuan. Kami terakhir kali bertemu pada sekitar tahun 2018 di Puncak Cisarua, saat mengikuti Bimbingan Teknis Penyelesaian Sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Saat itu, ia tetap penuh semangat, berbicara lantang tentang isu-isu hukum yang tengah berkembang. Kami berbincang hangat, mengenang masa-masa sulit saat bertugas di Aceh. Saya masih bisa merasakan semangatnya yang membara, meski waktu telah banyak berlalu sejak kami bersama-sama melintasi jalan berdebu di Aceh.

Kini, sosok kak Lamria hanya bisa terbaring tadi malam. Wajahnya tampak tersenyum, seolah meninggalkan dunia dengan tenang setelah melawan dengan segala daya yang dimilikinya. Saya memandangnya untuk terakhir kali dan berbisik dalam hati, “Selamat jalan, Kak Lamria. Keberanianmu akan selalu kami kenang.”

Kisah kak Lamria Siagian bukan hanya tentang seorang pengacara yang gigih. Ia adalah tentang nyali yang besar, tentang perjuangan melawan ketidakadilan di tengah konflik, dan tentang keberanian mengambil resiko demi membela mereka yang tak berdaya. Sosoknya mungkin telah tiada, namun nyala semangatnya akan terus hidup dalam hati mereka yang pernah disentuh oleh keteguhan dan keberaniannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar