Ahmad adalah seorang advokat yang baru saja menyelesaikan pelatihan mediator. Dalam pelatihan itu, ia menyadari bahwa seorang advokat tidak hanya bertugas memenangkan kasus, tapi juga memiliki peran penting dalam menciptakan perdamaian, terutama dalam kasus sengketa perdata dan keluarga. Ahmad kini lebih percaya pada pendekatan damai, sesuatu yang segera akan ia uji dalam kasus klien barunya.
Suatu hari, Budi, seorang pengusaha, datang menemui Ahmad. Dengan wajah penuh beban, Budi mulai menceritakan masalahnya tentang sebidang tanah harta bersama hasil dari perkawinan dengan mantan istrinya, Siti.
“Pak Ahmad, mantan istri saya ingin menjual harta bersama yang sudah ditetapkan oleh pengadilan agama. Tanah itu berupa kavling di dalam komplek perumahan. Luasnya sekitar 400 meter persegi. Mantan istri saya minta supaya tanah itu dijual dengan harga Rp 2.000.000 per meter. Kalau begitu, dia dapat 400 juta untuk bagiannya, tapi saya tidak setuju. Saya ingin menjual tanah ini dengan harga minimal Rp 2.400.000 per meter, supaya saya bisa dapat 480 juta. Harga itu lebih pantas, mengingat lokasi tanahnya,” keluh Budi.
Ahmad mengangguk, lalu bertanya, “Lalu, bagaimana dengan pembelinya?”
“Nah, itu dia, Pak Ahmad. Pembeli yang dia sodorkan, namanya Dani, hanya mau membeli tanah dengan total harga Rp 800 juta. Itu artinya dia cuma mau membayar Rp 2.000.000 per meter,” jawab Budi dengan nada frustrasi.
Ahmad memahami situasi yang rumit ini. Hubungan Budi dan Siti masih penuh ketegangan akibat perceraian mereka lima tahun lalu. Di tengah perbedaan harga dan rasa saling tidak percaya, Ahmad yakin dia bisa mencari titik tengah yang akan memuaskan semua pihak. Pelatihan mediasi yang telah ia ikuti sudah cukup banyak memberikan perspektif untuknya memilih strategi yang tepat.
Pertemuan Ahmad dengan Dani
Setelah mendapatkan arahan dari Budi dan Siti, Ahmad kemudian menemui Dani untuk membahas kemungkinan menaikkan harga.
“Pak Dani,” Ahmad memulai, “Jika Anda bisa membeli tanah ini seharga Rp 2.400.000 per meter, saya yakin kita bisa segera menyelesaikan transaksi ini. Dengan begitu, Budi dan Siti bisa mendapatkan bagian yang sesuai dengan harapan mereka.”
Dani menggeleng dengan tegas. “Maaf, Pak Ahmad. Tapi saya tidak bisa lebih dari Rp 800 juta untuk total tanah 400 meter persegi. Itu anggaran maksimal saya.”
Ahmad mencoba membujuk. “Apakah tidak ada ruang sedikit pun untuk bernegosiasi? Pak Budi berharap ada peningkatan kecil agar ia merasa harga tanah ini sesuai nilainya.”
Namun Dani tetap pada pendiriannya. “Saya benar-benar hanya mampu dengan harga segitu, Pak Ahmad. Jika harga naik, saya terpaksa mundur dan mencari tanah lain.”
Ahmad menyadari bahwa tidak ada cara untuk membuat Dani memenuhi harga yang diinginkan Budi. Dengan berat hati, ia menerima ketentuan Dani dan menyusun strategi baru untuk menyampaikan hasil negosiasi ini kepada Siti.
Pertemuan Ahmad dengan Siti
Ahmad kemudian bertemu Siti untuk melaporkan hasil negosiasinya dengan Dani.
“Bu Siti,” Ahmad membuka pembicaraan, “Saya sudah berbicara dengan Dani, dan sayangnya, ia tidak bisa memenuhi harga Rp 2.400.000 per meter. Dia hanya sanggup membeli tanah ini di total harga Rp 800 juta untuk keseluruhan 400 meter persegi.”
Siti menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekecewaan. “Saya sudah duga ini akan terjadi. Klien Anda, Pak Budi, memang keras kepala. Dia tidak peduli kalau Dani pergi dan kita kehilangan pembeli. Saya yakin dia sengaja mempersulit. Dia sepertinya masih menyimpan dendam dan ingin menyusahkan saya.”
Ahmad mencoba menenangkan. “Bu Siti, saya memahami kekhawatiran Ibu. Saya yakin ini bukan keinginan Pak Budi untuk memperpanjang masalah ini. Mari kita cari cara agar keputusan ini bisa adil untuk semua.”
Namun, Siti hanya mengangguk lemah, terlihat jelas kekhawatirannya akan hilangnya kesempatan menjual tanah tersebut.
Pertemuan Ahmad dengan Budi
Ahmad kemudian menemui Budi untuk menjelaskan situasi terkini.
“Pak Budi,” Ahmad mulai, “Dani tetap berpegang teguh pada total harga Rp 800 juta untuk tanah ini. Saya sudah mencoba untuk menawarkannya agar menaikkan sedikit harga, tapi dia benar-benar tidak bisa lebih dari itu.”
Budi menghela napas, sedikit frustrasi. “Saya sulit percaya, Pak Ahmad. Benarkah Siti tidak bisa menunggu pembeli lain yang mungkin bisa memenuhi harga lebih tinggi?”
Ahmad tersenyum tenang. “Saya mengerti, Pak Budi. Tapi saya rasa ini jalan terbaik. Mungkin kita bisa mencoba pendekatan lain agar transaksi tetap berjalan. Bagaimana kalau kita mempertimbangkan untuk menurunkan harga sedikit saja? Misalnya, Pak Budi menurunkan harga untuk bagian tanah Anda menjadi Rp 2.200.000 per meter. Ini tetap memungkinkan Ibu Siti untuk menerima harga yang lebih mendekati keinginannya.”
Budi berpikir sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, Pak Ahmad. Jika itu bisa membuat proses ini selesai, saya akan coba menurunkan harga sesuai usulan Anda.”
Ahmad Mendengarkan dengan Sabar
Ahmad mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, “Bu, mari kita coba mencari solusi yang bisa menguntungkan kedua belah pihak. Bagaimana kalau kita negosiasikan harga masing-masing bagian?”
Siti memandang Ahmad, bingung. “Maksud Bapak?”
Ahmad menjelaskan, “Kan Dani hanya bersedia membayar 800 juta untuk keseluruhan tanah. Bagaimana jika kita buat perjanjian yang tetap mempertimbangkan kebutuhan masing-masing? Misalnya, Ibu menjual bagian tanah Ibu 200 meter dengan harga satu juta delapan ratus ribu (1.800.000) per meter, sementara Pak Budi bisa menjual bagiannya di harga dua juta dua ratus ribu (2.200.000) per meter. Ibu turun 200 ribu, Pak Budi juga turun 200 ribu dari harga semula. Dengan begitu, Ibu akan mendapat 360 juta, dan Pak Budi bisa mendapatkan 440 juta.”
Siti masih tampak ragu, namun Ahmad melanjutkan dengan sabar, “Ini adalah jalan tengah yang terbaik, Bu. Dengan demikian, Dani tetap membeli tanah sesuai anggaran yang dimilikinya, yaitu 800 juta, dan Ibu serta Pak Budi bisa menjual sesuai kesepakatan masing-masing.”
Siti berpikir sejenak. “Jadi, saya tetap bisa dapat bagian saya, meskipun sedikit lebih rendah dari yang saya harapkan?”
“Betul, Bu. Saya rasa ini adalah win-win solution yang memungkinkan semua pihak merasa puas, khususnya Ibu yang ingin tanah tersebut cepat terjual. Sebab kalau kita sama-sama berkeras, maka tidak akan ada jalan keluarnya,” jelas Ahmad.
Setelah berpikir matang, Siti akhirnya mengangguk setuju. “Baiklah, Pak Ahmad, saya setuju.”
Ahmad Menyampaikan Hasil ke Budi dan Dani
Ahmad menemui Budi dan menyampaikan bahwa Siti setuju untuk menurunkan harga bagiannya menjadi satu juta delapan ratus ribu (1.800.000) per meter, sementara Budi bisa menetapkan harga dua juta dua ratus ribu (2.200.000) per meter untuk bagian tanahnya. Mendengar bahwa kompromi ini akan memberikan 440 juta bagiannya dan memenuhi permintaan Dani yang ingin membeli di harga total 800 juta, Budi akhirnya setuju.
Kemudian, Ahmad menjelaskan pengaturan ini kepada Dani, yang merasa lega karena tetap bisa membeli tanah dengan total harga sesuai kesanggupannya.
Di kantor notaris, proses penjualan tanah harta bersama tersebut berjalan lancar. Ahmad merasa lega karena usahanya sebagai advokat berhasil menciptakan penyelesaian yang damai tanpa konflik berlanjut, dengan menggunakan teknik-teknik mediator yang ia sudah pelajari. Keberhasilan ini membuat Ahmad semakin yakin bahwa menjadi seorang advokat yang mengutamakan pendekatan damai bukan hanya bermanfaat dalam menyelesaikan sengketa, tetapi juga memberikan kepuasan bagi para pihak.
Ahmad Bercerita kepada Teman-temannya
Beberapa hari kemudian, Ahmad bertemu dengan dua temannya, Eko, seorang advokat muda, dan Farid, seorang dokter yang belakangan tertarik pada dunia hukum. Mereka berbincang di sebuah kafe.
“Ahmad, cerita dong, gimana kamu bisa menyelesaikan konflik Budi dan Siti?” tanya Eko penasaran.
Ahmad tersenyum, mengingat proses mediasi yang baru saja ia lalui. “Aku menggunakan teknik mediasi yang baru aku pelajari. Ternyata sangat membantu. Aku mengajak mereka untuk melihat kebutuhan dan harapan masing-masing, lalu mencari titik tengah yang bisa diterima kedua belah pihak.”
Farid, yang duduk di sampingnya, tampak tertarik. “Menarik, ya. Jadi mediator itu memang butuh pelatihan khusus, ya?”
Ahmad mengangguk. “Iya. Kebetulan aku ikut pelatihan yang diadakan oleh AMSI (Perkumpulan Ahli Mediasi Syariah Indonesia). Mereka bekerja sama dengan AFTA Law School dan terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Hasilnya sangat berguna, terutama untuk kasus-kasus sengketa keluarga seperti ini.”
Eko tampak antusias. “Aku juga ingin belajar. Kamu punya informasi lengkapnya?”
Ahmad membuka ponselnya dan memperlihatkan detail pelatihan tersebut. “Kebetulan AMSI akan mengadakan pelatihan mediator pada 26-28 November 2024 di Forriz Hotel, Yogyakarta. Syaratnya harus lulusan S-1 dari jurusan apa pun. Biaya pendaftarannya Rp 7.500.000, dan bisa transfer ke Bank BSI atas nama Ahli Mediasi Syariah Indonesia.”
Ahmad melanjutkan, “Yang ikut pelatihan akan mendapatkan sertifikat mediator resmi dari Mahkamah Agung, modul pelatihan, kartu anggota, dan tentunya pelatihan dari pemateri berpengalaman.”
Farid terlihat semakin tertarik. “Wah, boleh juga, ya. Mungkin ini bisa jadi tambahan keahlian yang berguna untuk menyelesaikan konflik di bidang apa pun.”
Eko mengangguk setuju. “Aku rasa kita perlu ikut, ya!”
Ahmad tersenyum bangga melihat antusiasme teman-temannya. Ia merasa puas, mengetahui bahwa pendekatan damai yang ia pilih dalam menyelesaikan masalah bisa menginspirasi orang lain. Dengan semakin banyaknya mediator terlatih, Ahmad yakin bahwa penyelesaian konflik di masyarakat bisa menjadi lebih damai dan bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar