Senin, 11 November 2024

Ketika Netralitas Presiden Dalam Pilkada Jawa Tengah Dipertanyakan

Saya memasuki ruang kelas dengan perasaan antusias. Hari ini, saya sudah menyiapkan diskusi yang cukup menarik untuk mahasiswa. Seperti biasa, saya melihat wajah-wajah yang penuh harap dan sedikit rasa penasaran. Sebagian besar dari mereka mungkin sudah mendengar berita mengenai dukungan Presiden Prabowo Subianto kepada pasangan Ahmad Luthfi dan Taj Yasin dalam Pilkada Jawa Tengah. Itulah yang akan menjadi topik diskusi hari ini.

“Baik, sebelum kita mulai materi, saya ingin tahu pendapat kalian,” kata saya sambil meletakkan buku catatan di meja. “Menurut kalian, wajar tidak, seorang presiden memberikan dukungan terbuka kepada salah satu pasangan calon dalam Pilkada?”

Beberapa mahasiswa saling berpandangan, kemudian tangan seorang mahasiswa bernama Rani terangkat. “Pak, bukankah Prabowo mendukung dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra? Saya rasa itu wajar, karena beliau bukan hanya seorang presiden, tapi juga pemimpin partai.”

Saya tersenyum mendengar jawaban itu. Saya tahu ini adalah pendapat umum yang banyak beredar di masyarakat. “Betul, Rani. Memang benar, beliau adalah Ketua Umum Partai Gerindra. Tapi, mari kita lihat konteks lebih dalam. Ketika seorang presiden memberikan pidato dan menyebut dirinya sebagai presiden, apakah itu masih bisa dianggap dalam kapasitas sebagai ketua partai?”

Rani terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan saya. Saya melihat beberapa mahasiswa mulai mencatat. Mereka tahu bahwa ini bukan sekadar diskusi biasa, tapi sebuah pembelajaran tentang etika dan norma kepemimpinan.

“Kita harus memahami bahwa presiden adalah simbol negara,” lanjut saya sambil berjalan ke arah papan tulis. “Ketika seorang presiden berbicara di hadapan publik, ada ekspektasi bahwa ia berbicara sebagai kepala negara, bukan sebagai ketua partai politik.”

Seorang mahasiswa lain, Arif, mengangkat tangan. “Pak, apakah ini bisa dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan? Maksud saya, dukungan presiden itu bisa mempengaruhi hasil Pilkada, bukan?”

Pertanyaan ini menunjukkan pemahaman yang baik tentang masalah inti. “Benar sekali, Arif,” jawab saya. “Dalam istilah hukum, ini bisa disebut abuse of power. Ketika seorang presiden memberikan dukungan terbuka, ada potensi penyalahgunaan kekuasaan, terutama karena posisi presiden sangat kuat di mata publik. Masyarakat bisa saja merasa terpengaruh, dan ini menciptakan ketidakadilan dalam kompetisi politik.”

Saya melihat beberapa mahasiswa mengangguk, seakan mulai memahami poin yang saya sampaikan. Saya melanjutkan, “Apalagi, presiden memiliki kewenangan besar dalam mengangkat dan memberhentikan pejabat daerah. Jika ia memberikan dukungan kepada calon kepala daerah, bisa muncul kesan adanya konflik kepentingan.”

Dina, seorang mahasiswa yang biasanya kritis, mengangkat tangan. “Pak, bagaimana dengan hak politik pribadi? Bukankah presiden tetap memiliki hak untuk mendukung calon pilihannya?”

Pertanyaan ini membuat saya tersenyum. “Ya, Dina, presiden memang memiliki hak politik pribadi. Namun, jabatan presiden membawa tanggung jawab yang lebih besar. Ketika seseorang sudah menjabat sebagai presiden, ia harus siap untuk menempatkan kepentingan pribadi dan partai di bawah kepentingan bangsa.”

Saya melihat ekspresi wajah mahasiswa mulai serius. Saya tahu, mereka sedang memikirkan implikasi dari pernyataan saya.

“Kalian ingat pernyataan Prabowo sebelumnya?” tanya saya, mengarahkan perhatian mereka. “Beliau pernah mengatakan tidak akan cawe-cawe dalam Pilkada. Ini diucapkan di acara penutupan Kongres PAN. Artinya, ada janji untuk menjaga netralitas.”

Rani mengangguk. “Jadi, ada inkonsistensi antara janji dan tindakan beliau, Pak?”

“Tepat sekali,” jawab saya. “Ketika seorang pemimpin mengatakan satu hal, tetapi melakukan hal lain, ini menimbulkan masalah kepercayaan. Dalam politik, kepercayaan publik adalah hal yang sangat penting.”

Saya berjalan ke depan kelas, menatap mahasiswa yang kini semakin antusias. “Jadi, menurut kalian, wajarkah dukungan Prabowo kepada Luthfi dan Taj Yasin dalam Pilkada Jawa Tengah?”

Kelas hening. Saya melihat beberapa mahasiswa tampak ragu-ragu, tapi Arif akhirnya angkat bicara. “Pak, menurut saya, tidak wajar. Meskipun secara hukum tidak ada larangan, secara etika dan norma kepatutan, seharusnya presiden menjaga jarak dari politik lokal.”

Saya tersenyum lebar. “Pandangan yang bagus, Arif. Itulah esensi dari diskusi kita hari ini. Secara hukum mungkin tidak ada aturan yang dilanggar, tapi dari segi etika, ini bisa dipertanyakan. Presiden seharusnya menjadi figur yang netral, yang berdiri di atas semua golongan.”

Diskusi di kelas hari ini membuat saya merasa bangga. Mahasiswa saya tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga memahami pentingnya prinsip netralitas dan etika dalam kepemimpinan. Saya menutup kelas dengan pesan singkat.

“Jangan lupa, tugas kalian sebagai calon ahli hukum bukan hanya memahami aturan yang tertulis, tapi juga menjaga nilai-nilai moral dan etika. Karena pada akhirnya, itulah yang akan menentukan kualitas pemimpin dan pemerintahan kita.”

Saat saya melangkah keluar dari kelas, saya merasa puas. Diskusi hari ini bukan hanya membuka wawasan mereka, tetapi juga memperkuat keyakinan saya bahwa generasi muda ini bisa menjadi penjaga demokrasi yang sehat di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar