Kamis, 07 November 2024

Masihkah "Yang Mulia" Bisa Terhormat di Luar Ruang Sidang? (Cerpen Fiksi)

Di sebuah restoran mewah di tengah kota, suasana sibuk namun tenang. Cahaya remang dari lampu gantung berkilauan lembut di atas meja, menciptakan bayang-bayang yang bergerak perlahan di dinding. Bara, seorang hakim, duduk di salah satu meja bersama beberapa koleganya. Mereka berbincang ringan sambil tertawa sesekali, menikmati malam dengan santai setelah hari panjang di pengadilan.

Di seberang ruangan, seorang pelayan muda bernama Arman berdiri memandangi mereka. Arman tidak suka membicarakan orang, tapi malam itu berbeda. Ia mengenali Bara. Lima tahun lalu, saat Arman masih menjadi aktivis mahasiswa demonstran, nama Bara pernah terukir dalam ingatannya, terkait dengan satu kasus besar yang melibatkan seorang pemimpin perusahaan yang menjarah dana publik. Kasus itu akhirnya lenyap tanpa hukuman, dan Bara, sebagai hakim yang mengadili, adalah sosok yang menurut Arman bertanggung jawab atas lenyapnya keadilan.

Arman menghela napas panjang, mendekat ke meja sambil membawa baki berisi minuman. Tiba-tiba ia mendengar Bara tertawa lepas.

"Begini," kata Bara, menatap teman-temannya, "Kalau orang sudah tahu saya ini 'Yang Mulia', ya sudah wajar saja mereka hormat di mana pun." Ia melanjutkan kalimatnya dengan suara rendah yang sombong, tapi terkesan bercanda. "Bahkan di luar pengadilan!"

Kolega-kolega Bara tertawa. Namun, Arman yang berdiri di samping meja hanya tersenyum tipis sambil menyajikan minuman. Bara meliriknya sekilas, menangkap senyum dingin di wajah Arman.

“Kenapa? Ada yang lucu, Mas?” Bara menegur Arman dengan alis terangkat.

“Oh, maaf, Pak... eh, maksud saya Yang Mulia.” Arman terpaksa mengulangi kata itu dengan sedikit penekanan, sambil menahan senyum sinis.

Bara mendengus, sedikit tersinggung. Tapi ia mengabaikannya dan kembali berbicara dengan temannya.

Arman melangkah mundur, masih bisa mendengar Bara berbicara.

“Yang Mulia di sini, Yang Mulia di sana… Kalau sudah pakai jubah, orang lupa siapa mereka. Tapi mereka lupa, di bawah jubah itu… ada kita. Lupa diri… lupa mereka,” bisik Arman, kali ini suaranya pelan namun cukup keras hingga terdengar oleh Bara yang menangkap sepotong kalimat itu.

Bara berhenti bicara, melirik Arman yang masih berdiri di dekat mereka.

“Kamu bilang apa tadi, Mas?” Bara bertanya dengan nada tak suka. Ia sedikit tersinggung.

Arman terdiam sejenak, menatap Bara dengan tatapan tajam. Di balik senyum profesionalnya, ada rasa muak yang membuncah. “Maaf, Yang Mulia. Saya hanya mengagumi betapa keramatnya gelar itu. Bahkan di sini, jauh dari ruang sidang…”

Bara tersenyum mengejek, “Ya, wajar saja. Itu bukan sekadar gelar. Gelar itu adalah kehormatan yang hanya bisa diraih dengan perjuangan.”

Arman menahan diri. Dalam hatinya, ia ingin sekali berkata bahwa "kehormatan" itu telah ternodai oleh begitu banyak kasus suap dan jual beli vonis. Tapi ia tahu batasnya.

“Betul, Pak. Tapi... eh, maaf, Yang Mulia, saya jadi bertanya-tanya. Apakah kehormatan itu memang berasal dari gelarnya... atau dari perbuatan Yang Mulia?”

Bara terdiam sejenak, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari seorang pelayan. Rekan-rekannya pun saling menatap, beberapa dari mereka tampak tidak nyaman.

“Maaf, saya tidak bermaksud tidak sopan,” lanjut Arman cepat, “Cuma... sebagai orang awam, terkadang bingung juga. Apakah kehormatan itu ada karena di panggil ‘Yang Mulia’ di mana-mana, atau karena perbuatannya yang memang pantas dihormati?”

Suasana meja menjadi hening. Bara menatap Arman dengan tajam, tapi di balik ketajaman itu ada sesuatu yang berubah dalam ekspresinya, seolah-olah tersentuh oleh sesuatu yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya.

“Ada benarnya juga yang kamu katakan, Mas,” Bara berujar akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih rendah. “Mungkin kadang kita memang terlalu mementingkan gelar, dan lupa pada maknanya.”

Arman hanya tersenyum, mengangguk. “Terima kasih, Yang Mulia. Hanya sedikit keresahan dari rakyat kecil seperti saya.”

Bara mengangguk perlahan, tidak menjawab. Ia menatap kosong ke dalam gelas minumannya, melihat pantulan wajahnya di dalam cairan jernih itu. Refleksi wajahnya tampak serius, lebih serius daripada biasanya. Di balik gelar yang selalu ia bawa ke mana pun, ada pertanyaan yang tersimpan di dalam dirinya sendiri: Apakah ia benar-benar pantas dipanggil "Yang Mulia"?

Malam itu, setelah Arman pergi, Bara duduk lebih lama. Suara canda dari teman-temannya terdengar semakin jauh. Ia membayangkan dirinya di ruang sidang, berdiri dengan gagah memakai jubah hitam. Namun, kini ia sadar, jubah itu hanyalah kain. Gelar itu, hanyalah kata-kata. Dan “Yang Mulia” mungkin tidak ada artinya di luar ruang sidang jika ia tak bisa hidup dalam kebijaksanaan yang sejatinya dimiliki seorang hakim.

-------------

Cerpen fiksi refleksi di atas, terinspirasi dari sebuah berita berjudul:

Mahfud MD: Sebutan 'Yang Mulia' bagi Hakim Sangat Berlebihan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar