Di sebuah kelas Hukum Islam, Pak Dul, seorang dosen yang terkenal bijaksana, berdiri di depan 30 mahasiswa yang penuh antusias. Pagi itu, Pak Dul akan membahas topik yang penting dalam hukum perkawinan Islam: rukun nikah dan syarat nikah.
Pak Dul memulai kelas dengan sebuah pertanyaan yang tampaknya sederhana tetapi mendalam: “Apa yang kalian pahami tentang makna ‘kawin’ dan ‘nikah’? Apakah kedua kata ini sama atau berbeda?”
Beberapa mahasiswa mulai mengangkat tangan, saling melirik, lalu saling berbisik. “Nikah itu kan acara pernikahannya, Pak. Sedangkan kawin itu lebih ke hubungan suami istri setelahnya,” jawab seorang mahasiswa bernama Dedi.
Pak Dul tersenyum. “Bagus, Dedi. Tapi sebenarnya, dalam hukum Islam, ada sedikit perbedaan makna yang lebih mendalam. Nikah adalah istilah syar’i, yang berarti akad atau perjanjian suci antara dua insan, laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama sebagai suami istri. Sedangkan ‘kawin’ adalah kata yang lebih umum dan dalam bahasa Indonesia, maknanya lebih mengarah pada tindakan biologis atau kehidupan berumah tangga secara nyata.”
Para mahasiswa mengangguk, mencoba mencerna penjelasan Pak Dul. Pak Dul melanjutkan, “Namun, di Indonesia, dalam akad nikah, wali selalu mengucapkan kalimat, ‘Saya nikahkan dan saya kawinkan…’. Nah, kira-kira, kenapa kalimatnya seperti itu? Mengapa tidak hanya menyebut salah satu?”
Suasana kelas menjadi hening sejenak. Pak Dul melihat ke sekeliling kelas, berharap ada yang mengangkat tangan, tetapi tidak ada satu pun yang berani.
Pak Dul tersenyum lagi, lalu mengajak mereka berdiskusi tentang rukun dan syarat nikah. “Sebelum menjawab pertanyaan tadi, mari kita bahas dulu, apa saja rukun dan syarat nikah menurut hukum Islam di Indonesia?”
Salah satu mahasiswa bernama Lina mengangkat tangan, “Rukun nikah itu ada lima, Pak: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan ijab kabul.”
“Bagus sekali, Lina!” kata Pak Dul. “Itulah rukun nikah yang harus ada agar pernikahan dianggap sah secara agama. Nah, bagaimana dengan syaratnya?”
Aldi, mahasiswa lain, melanjutkan, “Syaratnya, Pak, seperti calon suami dan istri harus Muslim, harus baligh, berakal, dan calon istri harus tidak sedang dalam masa iddah.”
Pak Dul mengangguk puas. “Benar sekali! Jadi, rukun itu adalah hal-hal yang harus ada untuk keabsahan akad nikah, sedangkan syarat adalah ketentuan yang harus dipenuhi oleh para pelaku rukun tersebut.”
Pak Dul kembali mengingatkan pertanyaan awal, “Sekarang kita kembali ke kalimat ijab kabul. Kalian tadi sudah tahu perbedaan antara ‘kawin’ dan ‘nikah’. Tapi, kenapa dalam ijab kabul wali mengucapkan: ‘Saya nikahkan dan saya kawinkan…’?”
Suasana kelas kembali sunyi. Pak Dul mendekati papan tulis dan menulis kalimat itu di sana. “Coba bayangkan kalau kalimatnya dibalik menjadi, ‘Saya kawinkan dan saya nikahkan…’. Menurut kalian, bagaimana kesan atau makna yang berubah?”
Beberapa mahasiswa mulai saling bertukar pandang dan terlihat berpikir keras. Namun, tidak ada yang memberi jawaban. Akhirnya, Pak Dul memutuskan untuk menjelaskan.
“Saat wali mengucapkan ‘Saya nikahkan dan saya kawinkan…’, kalimat ini mengikuti urutan yang penting dalam agama Islam. ‘Nikah’ di sini berarti akad yang mengikat, yakni perjanjian sakral antara kedua belah pihak untuk hidup bersama dengan tanggung jawab masing-masing. Sedangkan ‘kawin’ mengacu pada kehidupan mereka sebagai suami istri yang akan menjalani keseharian bersama dalam suka maupun duka. Urutannya dari ‘nikah’ ke ‘kawin’ menunjukkan bahwa akad suci harus lebih dahulu, baru kehidupan rumah tangga secara nyata menyusul. Jika dibalik menjadi ‘Saya kawinkan dan saya nikahkan…’, maknanya menjadi rancu karena menyiratkan tindakan biologis lebih dulu daripada akad suci.”
Mahasiswa pun akhirnya tersenyum dan mengangguk mengerti. Pak Dul menutup pelajaran dengan pesan penting, “Ingatlah, setiap detail dalam hukum Islam memiliki makna. Perhatikan urutan dan makna setiap kata dalam ijab kabul, karena di sana tersimpan niat dan kehormatan yang tinggi dalam pernikahan.”
Kelas pun usai dengan diskusi yang hangat, meninggalkan pemahaman baru dalam benak setiap mahasiswa tentang pentingnya memaknai setiap kata dalam pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar