"Kalian nggak perlu bolak-balik ke kampus cuma untuk bimbingan, ya. Kita bisa lakukan lewat email, WhatsApp, atau telepon,” ucapnya santai. Suaranya tenang, tapi kami semua saling melirik seolah nggak percaya. “Kalau sudah ada bab yang mau direvisi, kirim saja soft copy-nya. Nggak perlu capek-capek cetak-cetak segala.”
Di kepala kami, semua itu terasa luar biasa. Bayangkan, selama ini banyak dosen lain yang minta revisi dicetak, bahkan beberapa kali. Ditambah lagi, waktu kami sering habis cuma buat antri bimbingan di ruang dosen yang sibuk. Tapi Pak Dul? Dia malah seakan bilang, “Santai aja.”
Tentu ada mahasiswa yang langsung bertanya, “Kalau misalnya kami mentok waktu penelitian, Pak?”
Pak Dul tersenyum tipis dan menjawab, “Saya akan kasih alternatif solusi sesuai kondisi kalian. Jadi, kalau kalian mengalami kendala, langsung saja komunikasi dengan saya. Setiap masalah pasti ada cara lain untuk menyelesaikannya. Skripsi itu nggak harus ribet.”
Lega? Banget. Rasanya seperti beban besar langsung hilang. Nggak ada tuntutan formalitas yang ribet. Tapi yang paling membekas buatku adalah prinsip yang beliau sampaikan dan diulang-ulang selama bimbingan: “Skripsi yang baik adalah skripsi yang cepat selesai.”
Tiap kali selesai mengirimkan bab baru, kami selalu menerima balasan dari beliau dalam bentuk feedback yang lengkap dan detail. Semua dibahas: cara menyusun data, mempertajam analisis, bahkan hingga bagaimana caranya agar tulisan kami lebih jelas. Feedback dari Pak Dul ini malah sering bikin aku sadar banyak hal yang sebelumnya nggak kepikiran. Bahkan meski nggak tatap muka, aku tetap merasa arahan beliau nggak pernah kurang.
Aku juga selalu ingat pesan beliau yang lain. “Kalian nggak perlu repot-repot cari formalitas, fokus saja di isi. Jangan sampai hal-hal teknis malah menghambat kalian.”
Tentu aja, apa yang aku alami ini beda jauh sama temanku yang dibimbing dosen lain. Aku dengar cerita mereka tentang betapa mereka sering bolak-balik ke kampus, cuma untuk revisi yang kadang hanya perbaikan kecil. Belum lagi biaya cetak yang terus membengkak karena revisi yang harus di-print berulang kali. Sementara aku? Tinggal klik ‘kirim’ di email, dan tinggal tunggu balasan dari Pak Dul.
Pernah suatu malam aku merasa mentok banget dengan dataku. Rasa frustasi mulai muncul, dan aku berpikir untuk menunda dulu bimbingan karena merasa nggak bisa menyelesaikan bagian itu. Tapi, Pak Dul malah mengirim pesan di grup WhatsApp bimbingan, mengingatkan kami semua.
“Kalau kalian menemukan kesulitan, jangan dipendam. Saya di sini untuk membantu kalian menyelesaikan. Kalau ada yang mentok, tanya saja, pasti ada solusinya.”
Pesan itu seperti sebuah alarm buatku. Akhirnya aku beranikan diri untuk menghubungi beliau. Dan, seperti biasa, Pak Dul memberi solusi yang lebih sederhana dari yang aku kira. Tidak ada tekanan, tidak ada proses berbelit. Dia seperti paham bahwa kami nggak perlu dibuat tambah stres.
Sampai akhirnya, aku dan hampir semua teman bimbingan Pak Dul berhasil menyelesaikan skripsi kami tepat waktu. Skripsi kami mungkin tidak setebal atau seformal yang lain, tapi setiap halaman adalah hasil bimbingan yang penuh esensi. Tidak ada yang sia-sia.
Saat sidang skripsi selesai, aku mengirim pesan ke Pak Dul, mengucapkan terima kasih atas semua yang beliau lakukan untuk kami. Jawaban beliau membuatku tersenyum lebar.
“Teruslah ingat, yang terpenting dalam skripsi bukanlah seberapa lama kalian di kampus, atau seberapa formal cara kalian bimbingan. Yang penting adalah kalian bisa menyelesaikannya, dan belajar sesuatu darinya.”
Bagi Pak Dul, skripsi hanyalah salah satu batu loncatan. Aku pun menyadari bahwa prosesnya tidak harus penuh formalitas, apalagi yang menambah beban. Di balik skripsi yang cepat selesai, ada kebijaksanaan yang mungkin baru aku pahami nanti. Tapi yang pasti, aku sangat bersyukur bisa dibimbing oleh dosen yang tahu betul cara membuat kami merasa nyaman dan percaya diri, tanpa melupakan esensi dari sebuah penelitian yang kami lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar