Sabtu, 27 September 2008

Penggusuran Di Pedongkelan

Kasus penggusuran di Pedongkelan memperlihatkan bahwa kebijakan negara masih belum berpihak pada rakyat kecil. Sebaliknya, berpihak pada kepentingan modal. Kondisi ini semakin memperjelas tentang kondisi hukum kita yang mencitrakan politik pasar. Di mana pemenuhan keadilan hukum warga negara disandarkan pada daya beli. Semakin rendah ekonomi masyakat, maka semakin keadilan hukum jauh untuk dinikmati. Ini terjadi pada fenomena kasus Pedongkelan dan banyak kasus-kasus lainnya yang serupa.

Membaca berita kasus penggusuran Pedongkelan, pada harian Kompas tanggal 23 Januari 2007, dengan judul Mimpi Buruk Setelah 28 Tahun, saya mencatat, bahwa posisi hukum warga gusuran di Pedongkelan sepertinya amat lemah secara hukum. Meski 28 tahun warga menempati lokasi, namun tak memiliki kekuatan hukum berupa sertifikat, atau apapun yang dapat membuktikan hak kepemilikan tanah yang ditempatinya. Hal ini disadari sendiri oleh Subur dari wadah perhimpunan warga dan pedagang, Paguyuban Padi Setra.

Meski posisi hukum warga Pedongkelan atas tanah lemah, namun hak-hak atas keadilannya tak bisa dirampas begitu saja oleh aparat negara (Satuan Tramtib). Karena hukum tanah kita mengenal azas pemisahan horisontal. Artinya, antara kepemilikan dan penguasaan, satu sama lain saling berdiri sendiri, dan tidak saling terkait.

Misalnya, si A bisa saja berstatus pemilik atas sebidang tanah. Namun fakta di lapangan, ternyata si A tidak menguasai tanah tersebut, melainkan si B lah yang menguasainya. Di atas tanah tersebut, si B mendirikan bangunan. Bila terjadi sengketa, si A tidak bisa mengklaim bangunan yang didirikan oleh si B adalah sebagai miliknya juga, di luar klaim kepemilikan tanah. Artinya, bahwa hak kepemilikan B atas bangunan yang didirikannya sendiri, diakui oleh hukum. Jadi, bila terjadi penggusuran, si A harus memberikan ganti rugi yang layak atas bangunan milik si B, meski di bangun di atas tanah si A.

Posisi ini yang mestinya diberlakukan kepada kasus penggusuran di Pedongkelan. Namun sayangnya, pemerintah kota Jakarta Timur tak memberikan ganti rugi layak atas bangunan-bangunan yang dimiliki warga. Bahkan barang-barang milik warga juga ikut dirusak pada saat eksekusi penggusuran berlangsung.

Persoalan menjadi pelik, manakala puluhan tahun lokasi yang ditinggali warga ternyata telah menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Sehingga tergusurnya warga dari lokasi tersebut, berdampak pada hilangnya sumber-sumber mata pencaharian. Artinya, penggusuran tersebut berpotensi besar melahirkan kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan hilangnya tempat tinggal yang layak. Bila dampak nyata ini terjadi, sudah pasti negara gagal memenuhi hak-hak ekonomi sosal budaya (ekosob) warga negara yang telah dilindungi dalam konstitusi UUD 45, dan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya.

Dalam kasus ini, kesalahan tak bisa dituding kepada warga. Negara lah, dalam hal ini Pemkot DKI Jakarta Utara yang patut disalahkan karena lalai menelantarkan tanah-tanah negara. Sehingga masyarakat akhirnya berimprovisasi memanfaatkan lahan kosong untuk penghidupan ekonomi keluarga. Kelalaian ini harus dibayar oleh pemerintah dengan cara, bukan hanya penghormatan terhadap hak-hak kepemilikan bangunan warga, tetapi juga penghormatan hak-hak ekosob warga. Yaitu di antaranya, memberikan kompensasi berupa relokasi tempat layak yang nilai ekonominya tak kurang dari tempat sebelumnya.

Apa yang bisa dilakukan warga secara hukum?

Pertama, menggugat secara perdata di pengadilan negeri atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan walikota Jakarta Timur, atas perbuatannya yang telah merugikan warga dengan melakukan pembongkaran paksa tanpa ada ganti rugi bangunan. Ditambah tuntutan ganti rugi atas kerusakan barang-barang yang ikut dirusak pada saat eksekusi.

Selain itu, tuntutan atas relokasi tempat yang nilai ekonominya tak kurang dari tempat asal, juga bisa menjadi poin tambahan petitum (permohonan) dalam gugatan tersebut. Dasarnya, salah satunya seperti disebutkan di atas, yaitu ada perlindungan hak-hak Ekosob di dalam konstitusi Indonesia dan UU No. 11/2005.

Kedua, sudah tentu ada surat perintah bongkar yang biasanya dikeluarkan oleh pejabat terkait yang menjadi dasar tindakan penggusuran. Dalam hal ini, misalnya Wali Kota Jakarta Utara. Surat perintah bongkar tersebut dapat dikategorikan sebagai obyek keputusan tata usaha negara. Apabila warga menemukan pelanggaran terhadap asas-asas pemerintah yang baik (good governance) dalam penerbitan surat tersebut, maka surat perintah bongkar dapat digugat oleh warga di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tuntutannya, berupa pembatalan surat. Apabila gugatan dikabulkan, dampaknya adalah kekuatan hukum atas tindakan penggusuran aparat Tramtib menjadi lenyap, dan otomatis illegal.

Ketiga, mengenai mekanisme gugatan, ada ragam pilihan yang bisa digunakan. Tergantung pertimbangan efektifitas. Apabila antar warga mudah untuk saling bertemu, maka setiap individu warga bisa maju secara bersama-sama mendaftarkan gugatannya di muka pengadilan. Sebaliknya apabila sulit, misalnya karena posisi domisili warga yang sudah tercerai berai akibat penggusuran, maka pola gugatan perwakilan kelompok (class action) sebagaimana diatur Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002, dapat juga digunakan.

Pilihan menggunakan class action, cenderung lebih mudah buat warga, untuk efektifitas dan efisien ketimbang pola gugatan konvensional.

Kita semua tentu berharap. Pemerintah tidak hanya mengedepankan aspek legalistik formal dalam melaksanakan program pembangunan. Tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan ekonomi sosial budaya masyarakat. Sehingga pembangunan yang dilakukan dapat dicicipi oleh semua kalangan, dan tidak mengorbankan masyarakat kelas bawah.

Matraman, 29 Januari 2007.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar