Sabtu, 27 September 2008

Menjegal Politik Di Hulu

Beberapa minggu terakhir ini, untuk kesekian kali publik disuguhkan polemik antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sikap Kejagung yang enggan menindaklanjuti hasil laporan penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan dalam kasus Penculikan Aktivis dan Orang Hilang, menjadi muara masalah. Alasannya, harus ada dulu Pengadilan HAM Ad Hoc oleh Keputusan Presiden (Kepres), baru penyidikan bisa berjalan. Pasal 43 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menjadi rujukan Kejagung. Polemik ini menggulirkan pro-kontra di tengah publik. Kalangan aktivis HAM angkat suara. Mengecam sikap Kejagung. Pemerintah tak mau ketinggalan. Juru Bicara Presiden dan Menteri Sekretaris Negara, ikut berkomentar. Nadanya sama. Diplomatis nan merisaukan.

Problem Hukum atau Politik? Sepintas bila dicermati, terkesan bahwa polemik ini semata-mata ada problem hukum dibalik sikap keengganan Kejagung melakukan penyidikan. Pertanyaannya, benarkah demikian? Apakah justru sebaliknya, ada sarat muatan politik di sana? Juga jangan-jangan, logika hukum sekedar bumper menutupi muatan politiknya? Menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu saya menyoroti beberapa fakta di bawah ini. Pertama, bukan hanya kasus penculikan aktivis dan orang hilang, tetapi juga kasus Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - Semanggi II (TSS), Mei 98, dan Wasior-Wamena, yang nasib penyidikannya juga terancam terhenti secara permanen di bawah meja kerja Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. 

Ragam alasan dijadikan tameng. Yaitu adanya rekomendasi DPR (kasus TSS), tidak jelasnya pelaku (Kasus Mei 98), dan berkas yang kurang lengkap (Kasus Wasior-Wamena). Semua alasan di atas tak dipungkiri lahir karena ada problem hukum. Teks UU No. 26 Tahun 2000 memberikan peluang Jaksa Agung menafsirkannya secara ‘karet’ untuk melegitimasi sikapnya yang tidak progresif. Persoalannya, justru mengapa Jaksa Agung tak menafsirkannya secara ‘karet’ juga untuk tujuan yang progresif? Toh misalnya dalam kasus TSS, Kejagung tak akan dianggap melanggar undang-undang bilamana penyidikan tetap dilakukan, meski rekomendasi DPR menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat. 

Dalam kasus Mei 98, Kejagung tak akan dianggap melanggar undang-undang bilamana tetap melakukan penyidikan guna menemukan pelaku, meski hasil penyelidikan Komnas HAM dinilainya tak jelas menentukan siapa pelaku. Dan dalam kasus Wasior-Wamena, Kejagung juga tak akan dianggap melanggar undang-undang bilamana penyidikan tetap dilakukan sembari melengkapi berkas penyelidikan Komnas HAM yang dinilainya ada kekurang-lengkapan. 

Begitu pun kini, kasus penculikan dan orang hilang. Tak melanggar undang-undang pula, bilamana Kejagung tetap melanjutkan penyidikannya, meski Pengadilan HAM Ad Hoc-nya belum terbentuk. Terlebih lagi sudah ada jurisprudensi pada kasus pelanggaran HAM Tim-Tim, di mana penyidikan dapat dilakukan meski Pengadilan HAM Ad Hoc belum terbentuk. Sifat kejahatan yang masih berlangsung dalam kasus ini, semestinya juga menjadi pertimbangan khusus. 

Kedua, Jaksa Agung sering ‘lelet’ dan bahkan tak merespon sedikit pun permintaan menerbitkan ‘surat perintah’ upaya paksa dalam penyelidikan. Misalnya, upaya paksa dalam rangka pemeriksaan surat, penggeledahan atau penyitaan, dan pemeriksaan tempat. Selaku penyelidik, Komnas HAM tak punya kewenangan itu, kecuali bila ada ‘surat perintah’ dari Jaksa Agung selaku penyidik. 

Ketiga, terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah diproses di Pengadilan HAM, nampak Jaksa Agung, melalui Jaksa Penuntut Umum-nya (JPU) juga (sepertinya sengaja) tak mampu memaksimalkan proses pembuktiannya. Di antaranya, pembuktian unsur-unsur perbuatan yang dituduhkan kepada para terdakwa teramat lemah. Baik pada surat dakwaan maupun tuntutan. Begitu pula dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan JPU dalam rangka ‘mengorek’ keterangan terdakwa dan saksi di muka persidangan, saya menilainya tak cukup ‘cerdas.’ Sehingga keterangan-keterangan penting yang signifikan dengan pembuktian, tak keluar dari mulut terdakwa dan saksi. Persidangan kasus pelanggaran HAM Abepura Desember 2000 di Makassar, menjadi fakta telanjang untuk hal ini. Keempat, Jaksa Agung melalui JPU-nya juga kerap kali melakukan ‘pembonsaian’ unsur-unsur perbuatan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh terdakwa. Sehingga, ketika berkas dilimpahkan ke Pengadilan, unsur-unsur perbuatan pelanggaran HAM menjadi menyusut. Hal yang sama terjadi pada jumlah pelaku. Jumlah pelaku yang diseret ke Pengadilan, juga menyusut dibanding yang ditemukan di tingkat penyelidikan. 

Dengan uraian di atas, terasa sulit bagi kita untuk tidak menuding bahwa Jaksa Agung tidak punya niat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tidak adanya niat didasari pada ‘miskinnya’ kemauan politik Jaksa Agung. Artinya, ada problem politik di balik suramnya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Empat hal di atas, adalah juga sebagian dari pola setengah hatinya Jaksa Agung menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Bila sebelumnya pola menumpulkan unsur-unsur pembuktian dakwaan di dalam pengadilan menjadi ‘favorit,’ kini pola berubah dengan melakukan ‘penjegalan politik di hulu.’ Dengan begitu, tidak perlu berkeringat lagi mementahkan kasus pelanggaran HAM berat di pengadilan. Tetapi cukup mementahkannya di proses penyidikan. 

Cara lain yang berpeluang menjadi skenario ‘pembuntuan’ kasus-kasus HAM di tangan Jaksa Agung, adalah penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Namun cara ini cenderung akan dihindari. Sebab UU No. 26 Tahun 2000 membuka peluang bagi korban dan keluarganya mempraperadilankan SP3. Ditambah, fenomena ‘perlawanan’ rakyat atas Surat Keterangan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) pada Kasus Soeharto, akan menjadi pelajaran berharga bagi Jaksa Agung. Menerka jalan pikiran Jaksa Agung, memilih ‘menjegal politik di hulu,’ bisa jadi dipandang beresiko relatif kecil. Dari pada memilih jalur ‘mengolah’ di pengadilan. Karena dengan menjegal politik di hulu, Jaksa Agung leluasa untuk ‘menyeret-nyeret’ kewenangan DPR dan Presiden, serta menuding kelemahan Komnas HAM menjadi strategi ampuh membentengi polemik yang dibuatnya. Setidaknya, itu akan membuat dirinya merasa bukan satu-satunya instusi yang menjadi sasaran kecaman publik dan para korban pelanggaran HAM. 

Mengakhiri Kebuntuan Apa pun problemnya, buntunya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat akan melanggengkan pengabaian hak-hak korban, sekaligus melanggengkan impunitas (kejahatan tanpa hukuman). Negara harus bertanggungjawab atas hal ini. Untuk memecah kebuntuan ini, langkah yang harus dilakukan adalah: Pertama, Jaksa Agung harus tetap melanjutkan penyidikan empat (4) kasus pelanggaran HAM berat. Upaya cari-cari alasan untuk tidak melanjutkan penyidikan, sebaiknya dihentikan saja. Sebaliknya, meletakkan kasus pelanggaran HAM sebagai ajang menuai prestasi. Di mana prestasi Jaksa Agung saat ini, sesungguhnya justru masih amat jauh tertinggal dibandingkan Jaksa Agung pendahulunya dalam hal penyidikan dan pelimpahan kasus pelanggaran HAM ke Pengadilan HAM. Suka tidak suka, itu yang terjadi. Melanjutkan penyidikan, adalah tanda keberpihakan negara terhadap korban. Begitu sebaliknya. 

Kedua, Presiden Soesilo Bambang Yudoyono harus turun tangan mengintervensi dengan membuat kebijakan yang dapat memastikan penyidikan kasus pelanggaran HAM dapat dilanjutkan dan dituntaskan hingga ke Pengadilan. Kalau perlu, tak usah ragu me-resuffle Jaksa Agung yang tak memiliki kepekaan terhadap rasa keadilan korban pelanggaran HAM ini. 

Ketiga, wacana dan aksi membawa kasus pelanggaran HAM di Indonesia ke level internasional adalah alternatif terakhir menjawab kebuntuan ini. Sayang, masih banyak di bangsa ini yang faham nasionalismenya sempit dan picik. Menganggap keterlibatan internasional dalam kasus HAM adalah bentuk intervensi negara asing. Padahal tragedi Tsunami Aceh, bahkan kini kecelakaan pesawat Adam Air, juga ada intervensi asing di sana. Kenapa juga tidak dipersoalkan. Toh, dengan kasus pelanggaran HAM berat sama-sama sebuah tragedi kemanusiaan. Hanya faktor penyebab saja yang membedakan. Kini kita tunggu saja, ‘jurus silat’ apa lagi yang akan dimainkan Jaksa Agung untuk memblunderkan kasus-kasus pelanggaran HAM.

-----

Tulisan pernah tayang di harian cetak Media Indonesia pada Juni 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar