Delapan tahun terlewati sejak terakhir kali saya menginjakkan kaki di Bali, tanah penuh pesona yang selalu terpatri di benak sebagai simbol keindahan wisata Indonesia. Saat itu, pada tanggal 16 Maret 2000, saya menyusuri pulau ini melalui jalur darat. Setiap jengkal perjalanan, dari Gilimanuk hingga Denpasar, seperti sebuah pengantar yang perlahan-lahan membuka tabir misteri keindahan Bali, aroma tanah dan suara lautan yang bergema di antara bayangan pegunungan dan pantai.
Namun, kali ini perjalanan saya sedikit berbeda. Datang dengan pesawat pada malam hari, suasana hangat di terminal pagi Bali yang dulu saya kenang, kini digantikan oleh gemerlap lampu bandara di malam gelap. Kesan yang ada tidak sekuat dulu, tidak begitu dalam. Hingga akhirnya pagi datang, dan saya terbangun dengan pemandangan pasir putih dan suara ombak yang tenang menghampiri Pantai Seminyak-Kuta.
Bali, dengan setiap lekuknya yang penuh cerita, selalu menyajikan sesuatu yang istimewa, dari pantai hingga pegunungannya. Saya beruntung, delapan tahun silam sudah menelusuri hampir seluruh penjuru pulau ini: dari Denpasar ke Kuta, Sanur hingga Ubud, Nusa Dua hingga Singaraja. Bahkan, pengalaman merayakan Nyepi di Bali menjadi momen tak terlupakan, ketenangan magis yang menyelubungi pulau, seperti waktu yang berhenti sejenak.
Berbalik pada kenangan, saya membayangkan, kelak, bisa kembali ke Bali untuk berbulan madu. Ubud, dengan keheningan dan pesona artistiknya, selalu menjadi tempat yang ideal. Kawan lama di sana, yang memiliki penginapan di tengah sawah, telah saya tagih untuk memfasilitasi mimpi bulan madu itu.
Bali, selalu ada ruang dalam hati saya untuk kembali, baik untuk mengulang kenangan maupun menciptakan yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar