Kamis, 29 November 2007

Kliping Berita: Terkait Peradilan terhadap Bersihar Lubis

Sabtu, 24-11-2007

*hisar hasibuan/rel

MedanBisnis – Medan

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional menyesalkan aparat penegak hukum yang menggunakan pasal Haatzai Artikelen tentang penghinaan terhadap penguasa, untuk mengadili jurnalis sekaligus kolumnis senior, Bersihar Lubis.

Demikian siaran pers yang diterima MedanBisnis, Jumat (23/11). Dalam siaran pers yang ditandatangani Ketua Badan Pengurus Syamsuddin Radjab dan Advokat Publik Irfan Fahmi disebutkan, Bersihar saat ini sedang menghadapi vonis di Pengadilan Negeri (PN) Depok dengan nomor perkara Reg. Per No PDM-20/Depok/08/2007, karena telah membuat tulisan yang dianggap menghina Kejaksaan Agung.

Menurut pihak Kejaksaan Agung, tulisan berjudul Kisah Interogator yang Dungu yang dimuat di harian Koran Tempo, 17 MAret 2007 itu, telah menghina, sebagaimana dalam delik pidana pasal 207 KUHP.

Dalam kolom itu, Bersihar mengeritik kebijakan larangan peredaran buku-buku pelajaran sejarah SMP dan SMU oleh Kejaksaan Agung, yang menurutnya dilakukan secara membabi buta tanpa proses telaah ilmiah mendalam.

Larangan itu, menurutnya, juga pernah terjadi pada buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer dan sama-sama tidak bersandar pada argumentasi ilmiah. Sehingga, hakikat isi dari tulisan kolom itu sesungguhnya harus dilihat sebagai kritik dan kebebasan warga negara menyampaikan pendapat dan ekspresi (freedom of expression and opinion) baik melalui lisan maupun tulisan.

Hal ini sudah merupakan hak konstitusi warga negara yang dilindungi, tepatnya pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 45. Juga hak yang dilindungi sebagaimana pasal 23 ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan terkait pula pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (diratifikasi oleh UU No 12 Tahun 2005).

PBHI amat menyesalkan dan menyayangkan masih digunakannya pasal 207 KUHP oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) untuk membungkam hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagaimana diatur dalam pasal konstitusi dan undang-undang di atas.

Padahal, ujar Syamsuddin, dalam pertimbangan hukum dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dan Nomor 6/PUU-V/2007, yang menyatakan pasal 134, 136 bis, 137, 154, dan 155 bertentangan dengan UUD dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mestinya menjadi hal yang harus dipertimbangkan bagi aparat penegak hukum untuk tidak lagi menggunakan pasal 207 KUHP itu terhadap siapapun warga negara yang menggunakan haknya untuk kebebasan berekpresi dan berpendapat.

“Dua Putusan MK itu memang tidak menyatakan pasal 207 KUHP turut dibatalkan. Namun dalam pertimbangannya, secara eksplisit maupun implisit, pasal 207 merupakan pasal Haatzaai Artikelen yang memiliki kesamaan unsur dengan pasal 134, 136 bis, 137, 154 dan 155 KUHP, yakni perbuatan penghinaan terhadap penguasa,” lanjutnya.

PBHI juga menyesesalkan Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak dijadikan landasan utama untuk menyelesaikan sengketa dalam perkara ini. Padahal, UU itu merupakan lex specialis mengatur sengketa di bidang pers.

Tulisan opini Bersihar di kolom harian Koran Tempo, ditegaskan PBHI, jelas merupakan produk pers, sehingga apabila muncul sengketa seyogianya tidak lagi menggunakan pasal KUHP yang lex generalis. Melainkan menggunakan hak jawab dan pengaduan ke dewan pers, sebagaimana pasal 5 ayat (2) dan pasal 15 ayat (2) hurup c UU No 40 Tahun 1999.

Berdasarkan UU Pers itu, PBHI juga menilai proses peradilan terhadap Bersihar pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum oleh aparat penegak hukum, di mana semestinya aparat penegak hukum wajib menaati dan melaksanakan apa yang diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dikutip dari : http://www.medanbisnisonline.com/rubrik.php?p=103919&more=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar