Minggu, 05 Juli 2020

Cerpen: Surat Tugas yang Tertahan

Pada suatu siang yang mendung, Pak Dul, seorang dosen pembimbing skripsi yang juga pengacara, sedang duduk di ruang kerjanya ketika ponselnya berbunyi. Di layar muncul pesan dari Shopia, mahasiswa bimbingannya yang tengah bergelut dengan skripsi.

[11:08] Shopia: Assalamualaikum, Bapak. Mohon maaf, saya sudah ketemu Kaprodi untuk meminta tandatangan surat tugas penunjukkan Bapak sebagai pembimbing skripsi saya, tapi beliau bilang harus Bapak yang langsung datang menghadap Kaprodi. Bagaimana, Pak, baiknya?

Pak Dul menghela napas panjang. Ia tahu betul Shopia sudah berusaha keras mengikuti prosedur. Semua surat sudah disiapkan, tinggal tanda tangan Kaprodi untuk meresmikan penunjukan dirinya sebagai pembimbing. Namun, permintaan yang mendadak ini, agar ia harus datang langsung ke Kaprodi hanya untuk mendapatkan tanda tangan, terasa ganjil.

Pak Dul menatap pesan itu sejenak, berpikir, lalu membalas.

[11:26] Pak Dul: Menurutmu bagaimana?

Shopia tidak langsung menjawab. Tentu saja, sebagai mahasiswa, ia hanya mengikuti arahan. Baginya, yang penting skripsinya berjalan lancar, meski Pak Dul tahu bahwa permintaan Kaprodi ini justru menghambat.

[11:31] Pak Dul: Surat tugasnya sudah kamu print?

[11:42] Shopia: Sudah, Pak.

Pak Dul mengangguk sendiri. Surat itu sudah ada, siap ditandatangani. Seharusnya tidak perlu repot-repot menghadiri pertemuan khusus dengan Kaprodi hanya demi urusan sepele ini. Bukankah waktu dosen juga berharga? Saat itu pula, ia teringat akan begitu banyak upaya yang ia berikan untuk membimbing mahasiswa-mahasiswa seperti Shopia hingga bisa menyelesaikan skripsi mereka. Usaha yang tak kenal waktu, terkadang mengorbankan waktu pribadinya, demi memastikan mereka mendapatkan ilmu dan pengalaman terbaik.

Namun, Kaprodi, dengan wewenang yang dimilikinya, tampak tak menghargai itu semua. Baginya, seolah kehadiran fisik Pak Dul jauh lebih penting daripada fungsinya sebagai pembimbing.

[11:42] Pak Dul: Ok, disimpan saja dulu, nanti suatu saat akan berguna.

Shopia menjawab dengan rasa syukur. Baginya, meski terkesan sepele, dukungan Pak Dul adalah dorongan untuk tetap bertahan di tengah rumitnya prosedur birokrasi.

Namun di benak Pak Dul, ada pertanyaan besar yang bergema: Mengapa harus begitu sulit? Bukankah tujuan semua ini adalah demi kepentingan akademis? Mengapa justru terjebak dalam hal-hal seremonial yang tidak berdampak langsung pada perkembangan ilmu dan kemampuan mahasiswanya?

Keesokan harinya, Pak Dul kembali menerima pesan dari Shopia. Kali ini, bukan soal surat tugas, tapi tentang perkembangan penelitian. Dengan penuh antusias, Shopia melaporkan hasil temuan dari penelitiannya. Bagi Pak Dul, di situlah letak kepuasan sejati sebagai dosen ketika melihat anak didiknya tumbuh, berkembang, dan semakin kritis.

Pak Dul memutuskan untuk menutup layar ponselnya dan kembali fokus pada pekerjaannya. Baginya, kerja keras yang dilakukannya lebih besar nilainya daripada pengakuan atau penghargaan dari birokrasi. Dan untuk Shopia serta mahasiswa lainnya, ia akan selalu ada, tak peduli berapa banyak prosedur yang harus dilalui.

Namun, di lubuk hatinya, Pak Dul berdoa agar suatu hari nanti, sistem yang terjebak dalam formalitas ini bisa berubah. Agar semua bisa berjalan lebih sederhana, lebih tulus, dan lebih memusatkan perhatian pada apa yang seharusnya benar-benar penting: perkembangan ilmu dan masa depan anak didiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar