Senin, 01 Maret 2021

Selamat Jalan Bang Imam

Hari ini, tepat empat puluh hari sejak kepergian Bang Imam, sosok pengacara tangguh di Banda Aceh, yang bukan hanya menjadi mentor magang saya, tetapi juga membimbing langkah pertama saya di dunia para pembela.

Kala itu, April 2004, hanya sebulan sejak saya mulai magang di PBHI, sebuah panggilan tugas membawa saya ke Banda Aceh. Saat itu, Bang Imam tengah sibuk mengadvokasi korban konflik di bawah ancaman senjata yang siap menyalak kapan saja. Seminggu sebelum status Aceh berganti dari "Darurat Militer" ke "Darurat Sipil," saya tiba, dan Bang Imam menjemput saya di bandara. Perjalanan dari bandara menjadi kelas pertama saya tentang Aceh, tentang bagaimana memahami dan menyikapi situasi yang mencekam itu.

Tugas pertama saya adalah mempelajari tumpukan dokumen perkara. Ada berkas Irwandi Yusuf, akademisi yang dituduh makar sebagai juru bicara GAM; ada berkas Fahlevi, aktivis mahasiswa yang terseret kasus pidana usai demonstrasi; dan perkara-perkara lainnya yang kebanyakan terkait pidana makar. Di tangan Bang Imam, saya belajar menyelami pasal-pasal pidana yang rumit itu, bukan hanya sebagai hukum, tapi sebagai cerita orang-orang yang terjebak dalam putaran konflik.

Tak hanya itu, Bang Imam memperkenalkan saya langsung kepada para kliennya—Irwandi Yusuf dan Fahlevi—dalam kunjungan ke LP Keudah. Awal perkenalan ini menjadi jalan untuk saya sering mengunjungi mereka di LP, bahkan tanpa ditemani Bang Imam. Beberapa tahun kemudian, saya melihat Irwandi Yusuf menjadi gubernur Aceh pertama pasca-perjanjian damai Helsinki.

Ketika tsunami menghantam Aceh, Bang Imam selamat karena kebetulan tak sedang berada di Banda Aceh. Namun takdir membawa luka lain yang tak terbayangkan—keluarga tercintanya tersapu ombak besar. Istrinya dan kelima anaknya, termasuk si bungsu yang masih balita, tak lagi bersamanya. Saya mengenal mereka, anak-anaknya, istrinya. Bang Imam sering mengundang saya makan malam di rumahnya, di Meuraxa, di mana tawa dan kehangatan pernah memenuhi ruang.

Dua minggu setelah tsunami, ia datang ke Jakarta. Teman-temannya mengajaknya berlibur, mencoba membantu memulihkan diri dari kehilangan yang begitu dalam. Saya mendampinginya di Matraman, mengajaknya ke tempat wisata. Sepanjang hari, tawa kami bergema, seolah sedih tak pernah singgah di wajahnya. Namun, ketenangan palsu itu pecah tiap dini hari ketika saya terbangun, mendapati Bang Imam duduk termenung, hanya bersarung dan berkaos singlet, dikelilingi asap tembakau. Air matanya mengalir deras.

“Abang sakit?” Saya bertanya khawatir.

“Enggak, Fan. Jam segini, aku sering ingat istri dan anak-anak. Gak kuat aku, Fan,” jawabnya perlahan.

Saya hanya diam, tenggelam dalam duka yang ia bawa. “Sabar ya, Bang,” lirih saya. Kata-kata terasa terlalu dangkal.

***

Bang Imam—nama lengkapnya Mochamad Syafii Saragih—berasal dari Sumatera Utara, namun Aceh adalah tempat yang ia pilih untuk menetap. Di kota ini, ia menjadi sosok pembela yang berani, berdiri melawan ketidakadilan saat konflik merajalela. Intimidasi datang tak jarang, tetapi langkahnya tak pernah surut. Bagi PBHI, Bang Imam adalah pilihan tepat sebagai koordinator advokasi di Aceh, terutama bagi Tim Advokasi Masyarakat Sipil Aceh (Tamasya) dalam perjuangan mereka.

Saya beruntung, terhormat bisa belajar darinya. Tiga bulan bersama Bang Imam, menjadi asistennya dalam advokasi korban konflik, mengajari saya lebih dari yang saya bayangkan.

Bang Imam punya sisi lain yang penuh canda. “Ini nggak sesuai Si Kon*** Panjang, Fan!” katanya suatu kali saat berdiskusi perkara. Saya kaget dan tertawa. Apa maksudnya?

“Iya, Situasi Kondisi Toleransi Pandangan dan Jangkauan, Fan,” jawabnya serius. Saya tertawa terbahak-bahak mendengar istilah yang baru dan tak biasa itu. Saya kenal banyak bahasa pergerakan, tapi Bang Imam selalu punya akronim baru yang membuat suasana lebih ringan.

***

Senin, 18 Januari 2021, kabar duka datang. Bang Imam telah tiada. Di sanalah, seorang pembela kemanusiaan telah beristirahat dari dunia penuh luka yang selalu ia rawat.

Allahummagfirlahu. Alfatihah.

Selamat jalan, Bang Imam—pengacara, pembela HAM, dan manusia yang tak kenal lelah mencintai sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar