Minggu, 03 Desember 2023

Cerpen Edukasi: Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Di sebuah ruang kelas yang sejuk, di lantai 7, seorang mahasiswi bernama Andini sedang duduk di antara deretan mahasiswa, mendengarkan dengan penuh perhatian. Hari itu, dosen mereka, Pak Dul tengah menjelaskan tentang hukum perkawinan Islam yang berlaku di Indonesia. Pak Dul bukan hanya seorang dosen, tetapi juga seorang pengacara yang berpengalaman menangani kasus-kasus hukum keluarga di pengadilan agama. Rekam jejaknya sebagai advokat dalam menangani kasus-kasus perceraian, hak asuh anak, dan sengketa keluarga sudah diakui banyak pihak.

Pak Dul membuka perkuliahan dengan menyampaikan pengertian dan prinsip perkawinan dalam Islam.

"Dalam Islam," kata Pak Dul dengan tenang, "perkawinan bukan hanya ikatan lahir, tetapi juga ikatan batin yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang, dan keberkahan. Prinsip-prinsip dasarnya adalah monogami, tanggung jawab bersama, dan kesejahteraan keluarga."

Andini merenungkan kata-kata Pak Dul. Ia teringat percakapan dengan temannya, Reza, yang baru-baru ini melamar kekasihnya. Reza sempat bercerita bahwa pernikahan adalah tugas suci, tempat pria dan wanita berbagi tanggung jawab dan saling mendukung. Andini tersenyum sendiri, seolah memahami bahwa pernikahan adalah perjanjian besar yang akan mengubah hidup seseorang.

Pak Dul melanjutkan dengan dasar hukum perkawinan Islam di Indonesia.

"Di Indonesia," lanjut Pak Dul, "perkawinan umat Islam diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, atau KHI. KHI memberikan panduan khusus mengenai berbagai aspek perkawinan, dari rukun dan syarat hingga hak dan kewajiban pasangan."

Pak Dul menjelaskan bahwa KHI disusun untuk mengatur perkawinan umat Islam sesuai dengan syariat, namun tetap di dalam kerangka hukum negara. Pengalamannya di pengadilan agama membuatnya memahami berbagai dinamika dan persoalan yang sering muncul dalam pernikahan.

Saat rukun dan syarat perkawinan dalam Islam dibahas, Pak Dul menerangkan dengan gamblang tentang pentingnya elemen-elemen pernikahan seperti calon mempelai pria dan wanita, wali nikah, dua saksi, serta ijab kabul yang sah.

"Wali dan saksi itu penting. Wali memastikan hak perempuan terjaga, dan saksi adalah pengukuh sahnya akad," katanya.

Andini mendengarkan dengan saksama, terutama saat Pak Dul menekankan betapa pentingnya pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA). Ia menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan bukan sekadar formalitas, melainkan perlindungan hukum bagi pasangan dan anak-anak.

Pak Dul melanjutkan dengan menjelaskan perjanjian perkawinan atau prenuptial agreement. Ia menceritakan beberapa kasus yang pernah ia tangani, di mana perjanjian perkawinan sangat membantu dalam melindungi hak-hak pasangan.

"Perjanjian perkawinan ini penting untuk menetapkan pembagian harta dan hak-hak lainnya sebelum menikah. Dengan begitu, kalau ada masalah di masa depan, kedua belah pihak sudah memiliki kesepakatan awal yang sah secara hukum," jelas Pak Dul.

Andini mulai tertarik dengan perkawinan di bawah umur. Pak Dul menjelaskan bahwa menurut UU Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun. Ia juga berbagi pengalaman saat menangani kasus dispensasi perkawinan usia dini di pengadilan agama.

Pak Dul kemudian membahas topik poligami dalam hukum Islam dan KHI, sebuah isu yang ia tahu selalu menimbulkan perdebatan. Ia menjelaskan bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, termasuk izin dari istri dan izin dari pengadilan agama.

"Dalam Islam, poligami bukanlah hak yang bisa diambil sembarangan. Saya sering melihat kasus poligami yang berujung konflik karena suami tidak memenuhi syarat-syarat yang sudah diatur dalam hukum Islam maupun peraturan negara," ucap Pak Dul dengan serius.

Di luar kelas, Andini berdiskusi dengan temannya, Mira, tentang perkawinan beda agama. Mira bertanya, dan Andini mengingat penjelasan Pak Dul bahwa UU Perkawinan tidak mengizinkan pernikahan beda agama secara langsung. Namun, ada beberapa dispensasi di catatan sipil yang memungkinkan pencatatan pernikahan tersebut.

Ketika hak dan kewajiban suami-istri dibahas, Andini merasa terharu. Pak Dul menjelaskan tentang tanggung jawab suami dalam memberi nafkah serta hak istri dalam mendapatkan perhatian dan perlindungan.

"Di balik pernikahan yang kuat," kata Pak Dul, "ada hak dan kewajiban yang seimbang."

Pak Dul melanjutkan dengan menjelaskan mekanisme pembatalan dan putusnya perkawinan, termasuk talak, fasakh, dan khulu’. Pembatalan pernikahan hanya bisa dilakukan jika ada alasan sah, seperti penipuan atau alasan kesehatan.

Menutup kuliah, Pak Dul menjelaskan implikasi sosial dan hukum perkawinan Islam.

"Hukum perkawinan Islam bukan sekadar aturan. Ia adalah pedoman untuk menjaga stabilitas dan keharmonisan keluarga, sekaligus memberikan perlindungan bagi pihak yang rentan, seperti perempuan dan anak-anak."

Kelas selesai, tetapi bagi Andini, kata-kata Pak Dul membekas dalam. Perjalanan pulangnya penuh renungan tentang masa depan dan tanggung jawab yang kelak ia pikul dalam pernikahan. Bagi Andini, hukum perkawinan Islam bukan hanya materi kuliah; ia adalah ilmu kehidupan yang akan membimbingnya kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar