Kamis, 24 September 2015

Selamat Jalan Maha Mentor Para Pembela



Di ruang sidang yang penuh hiruk-pikuk, seorang pembela sepuh berdiri dengan tegap. Usianya tak lagi muda, rambutnya memutih, namun sorot matanya tetap tajam. Suaranya lantang dan penuh keyakinan menyeruak di antara barisan hadirin. Hari itu, ia menghadapi perdebatan sengit dengan sang jaksa penuntut umum yang berupaya mengusirnya dari sidang. Sang jaksa menuduhnya bukan advokat yang sah, hanya karena ia tergabung dalam organisasi advokat yang dianggap tidak sesuai dengan hukum.

Dengan marah, pembela tua itu menghentakkan tangannya di meja. Suara gebrakan tersebut bergema, mengundang keheningan seketika. Ia menantang, “Puluhan tahun saya berkiprah sebagai pengacara. Kalau Saudara meragukan saya, ayo kita keluar dari ruang ini, tanpa atribut, tanpa tanda profesi. Kita jalan di trotoar, temui orang-orang, dan tanya siapa yang lebih mereka kenali, Saudara sebagai jaksa atau saya sebagai pembela.”

Senyum kecut muncul di wajah sang jaksa. Sang pembela jelas bukan lawan biasa—ia adalah legenda di dunia pembelaan. Hakim pun memutuskan untuk mengakhiri perdebatan itu. Status sang pembela sebagai advokat yang sah tak lagi dipertanyakan; ia berhak untuk berada di ruang itu, membela kliennya. 

Kisah diatas, dituturkan salah seorang senior kepada saya.

***
Rabu, 23 September 2015. Hari itu, Adnan Buyung Nasution, sang advokat senior legendaris itu berpulang. Ia meninggal dunia pada usia 81 tahun, menutup lembaran hidupnya yang penuh perjuangan dengan tenang. Kamis pagi berikutnya, tubuhnya dibaringkan dalam keabadian, sementara kenangan dan kisah-kisahnya tetap hidup di hati para penerusnya.

Almarhum dikenal sebagai mentor sejati bagi para pembela publik, sosok yang bukan sekadar senior, melainkan "MAHA MENTOR." Banyak pembela publik yang merasa terinspirasi oleh sepak-terjangnya meski tak pernah langsung dibimbing olehnya. Ia adalah simbol perlawanan bagi yang tertindas, pembela bagi yang tak bersuara, dan bahkan gayanya yang khas dalam berpenampilan menjadi panutan bagi para juniornya.

Ia sosok pengayom para juniornya, bahkan kepada para junior yang kadang berdiri sebagai lawannya di ruang sidang. Dalam setiap langkahnya, ada wibawa yang membuatnya dihormati, namun juga kelembutan yang membuatnya dicintai. Ketika seorang juniornya (Aktivis Munir) wafat dalam perjalanan ke Belanda, ia tak hanya marah, tetapi juga merasa kehilangan. Padahal, mereka pernah berselisih dalam kasus pelanggaran HAM yang melibatkan nama-nama besar di militer. Tapi baginya, urusan prinsip selalu lebih besar daripada sekadar perbedaan pendapat.

Almarhum juga adalah seorang idealis yang gigih namun demokrat sejati. Tahun 2003, ketika Undang-Undang Advokat tengah dibahas, ia termasuk yang paling keras menolak lulusan fakultas syariah menjadi advokat. Namun, perdebatan panjang dengan seorang pejabat Kementerian Hukum dan HAM berhasil mengubah pandangannya. Setelah UU disahkan, ia bahkan membuka pintu LBH yang ia dirikan bagi lulusan fakultas syariah untuk magang dan berkiprah.

Namun hidupnya tak lepas dari kontroversi. Kebijakan-kebijakannya di LBH kerap menimbulkan gesekan. Protes dari para junior, ketidakpuasan yang membuncah, bahkan hingga terbentuknya Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) pada 1996 adalah saksi dari perselisihan yang mewarnai hidupnya. Tapi baginya, hidup adalah panggung bagi perbedaan dan kontroversi adalah sunnatullah yang tak bisa dihindari.

Kini, ia telah tiada. Almarhum meninggalkan warisan berharga: semangat membela keadilan bagi kaum miskin dan tertindas. Bagi kita yang muda, sosoknya adalah teladan abadi dalam memperjuangkan hak asasi dan membela keadilan di negeri ini.

Selamat jalan, Abang... Semoga perjuanganmu menjadi bekal dalam pertemuanmu dengan Sang Maha Adil.

***
“Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan…”
“Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang…”
“Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya…” 
“Kita adalah manusia merdeka…”
“Dalam MATI-nya kita semua adalah manusia terbebas…”
(Gie)

Senin, 07 September 2015

Menulis Tesis (Semestinya) Mudah dan Menyenangkan

Di penghujung Agustus 2015, tanpa sorak sorai, genap sudah satu dekade semester masa studi pascasarjana saya lalui. Menelurkan ‘kitab’ bernama 'tesis' hasil penelitian yang akhirnya ‘dihalalkan’ oleh para penguji. Sungguh, rasa syukur tak terperi, tapi bukan tanpa jejak tempaan: perjalanan panjang, stres, marah, bahkan getir kecewa, bak embun dingin yang selalu membuntuti langkah.

Setiap hari rasanya seperti dikejar bayangan tugas, tenggat, dan harapan-harapan yang kerap terlalu tinggi. Sesederhana impian untuk segera menggantung toga magister dan melihat orang-orang terdekat tersenyum bangga. Namun, realitas dunia kerja, dan situasi kampus yang kadang ‘tak bersahabat’, memperpanjang jalan cerita hingga lima semester lebih dari waktu ideal.

Minggu, 06 September 2015

Mencari Panggung Politik

Peristiwa FZ dan SN (pimpinan parlemen) dalam kampanye presiden di luar negeri sulit untuk dibaca secara polos dan lurus-lurus saja. Wajar banyak orang bertanya mengenai motif atas peristiwa itu.

Hal sama mengingatkan pada kisah seorang pembela tukang sate, ketika ia heran dan bertanya, mengapa stafnya FZ begitu ngotot meneleponnya agar mau bersama-sama dengan FZ untuk menjemput 'tukang sate' pulang pada hari Senin tanggal 3 Nop 2014. Padahal Sabtunya RI 1 sudah menjamin tukang sate bakal "dipulangkan".... ;) 

Kala Pembela Menantang Nalar Jurist: Kisah di Balik Ruang Sidang

Di ruang sidang yang tenang, seringkali ketegangan terselip di antara dialog formal yang mendebarkan antara Pembela dan Jurist. Di sini, sang Pembela kerap harus bermain di antara dua peran: menjadi penegak keadilan dan penjaga marwah profesi. Dalam atmosfer serius dan berdebat, ada momen di mana logika dan nurani Pembela diuji, ketika nalar Jurist seakan berlari jauh dari apa yang disebut “kewajaran hukum.”

Sabtu, 05 September 2015

Ketika Hakim Menutup Hak Tergugat Ajukan Bantahan

Dalam dunia pembelaan oleh pengacara di dalam ruang sidang, aksi 'walk out' bukanlah pemandangan baru. Terutama ketika pembela menghadapi perkara-perkara publik. Bagi seorang pembela, terkadang langkah keluar dari persidangan adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan ketidaksetujuan yang tegas, yang tak akan tersampaikan lewat kata-kata saja. Beberapa waktu lalu, seorang pembela melakukan aksi tersebut, bukan karena ia menyerah, melainkan sebagai tanda protes. Protes atas logika hukum dari sang jurist yang menurutnya pincang, karena mengaburkan hak-hak dasar seorang tergugat.