Suasana Pagi di PBHI
Sejak pagi, kantor Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) sudah dipenuhi dengan energi dari orang-orang yang sibuk menjalankan tugas masing-masing. Suara-suara tawa dan perintah bercampur dengan denting logam dan gesekan kayu, saat lebih dari 15 orang sibuk memindahkan meja, mengangkat kursi, memasang balon dan hiasan, menyiapkan makanan, serta mendirikan tenda. Kesibukan ini berlangsung dalam harmoni, di bawah arahan tegas namun lembut dari sang dirigen hari itu, Diah Hastuti. Orang-orang di PBHI lebih mengenalnya dengan panggilan Mbak Diah, sosok sekretaris yang tak kenal lelah.
Hari itu adalah Minggu, 5 November 2006. Kesibukan yang tak biasa di kantor PBHI rupanya untuk menyiapkan perayaan sederhana, peringatan ulang tahun ke-10 PBHI. Semua berjalan sesuai rencana di bawah kepemimpinan Mbak Diah, yang ditunjuk sebagai penanggung jawab pelaksanaan. Rencananya, sekitar pukul 15.00, perayaan akan dimulai. Namun, tidak seperti perayaan mewah di Goethe Institut pada tahun sebelumnya, kali ini suasana yang lebih sederhana sengaja dipilih.
Pesan dari Bang Johnson
Johnson Panjaitan, Ketua Badan Pengurus PBHI yang akrab disapa Bang Johnson, telah menegaskan bahwa ulang tahun kali ini hanya untuk internal saja. Dia ingin perayaan ini berlangsung dalam lingkup yang lebih intim, hanya dengan anggota dan staf. Tanpa acara besar-besaran, karena suasana dan kondisi tahun itu mengharuskan untuk lebih sederhana. Namun, Mbak Diah tetap mengirimkan 150 undangan. Seratus di antaranya untuk anggota PBHI, dan 50 lagi untuk mitra yang selama ini telah memberikan dukungan besar kepada PBHI. Meski perayaan bersifat internal, tak enak rasanya jika mereka tak diundang. Ada rasa terima kasih yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Menunggu Waktu Indonesia
Ketika jam di handphone saya menunjukkan pukul 15.00, hanya lima kursi yang terisi. Ratusan kursi yang disiapkan untuk 150 undangan masih kosong. Kegelisahan mulai menguasai saya, tatapan saya terus beralih dari jam di layar ponsel ke pintu masuk yang masih sepi. "Biasa, waktu Indonesia," kata seorang kawan mencoba menenangkan, "jam karet coy…" Namun, bukan hanya kursi kosong yang membuat saya gusar, beberapa staf senior PBHI yang belum juga tampak batang hidungnya semakin menambah kegelisahan.
Barulah sekitar pukul 16.15, acara akhirnya dimulai. Freddy dan Susan, dengan senyum yang mengembang, maju ke panggung. Mereka berdua mengambil alih peran sebagai pembawa acara, memecah kesunyian yang sempat menyelimuti. Perayaan ulang tahun PBHI yang ke-10 akhirnya resmi dibuka, meski tak seperti yang direncanakan, tetapi tetap penuh kehangatan di antara keluarga besar PBHI.
Suasana Hangat dan Canda di PBHI
Freddy Simanungkalit, seorang advokat muda dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, melangkah ke depan panggung. Bukan hanya bakatnya dalam adu argumentasi di ruang sidang yang membuatnya menonjol, tetapi juga kemampuannya dalam memandu acara. Setiap ada perhelatan di PBHI, Freddy selalu dipercaya menjadi pembawa acara. Hari ini, tak terkecuali. “Saya dibayar 2 M oleh PBHI,” ujarnya dengan nada guyon yang sudah dikenal, membuat semua yang hadir tersenyum. “2 M, Makasih ya, Mas!” lanjutnya, menambah gelak tawa yang pecah di ruangan itu.
Di sampingnya, Susan, rekan kerjanya yang anggun namun tak kalah humoris, berusaha menjaga atmosfer tetap hidup. Acara doorprize digelar, menyuntikkan energi baru ke tengah-tengah perayaan ulang tahun ke-10 PBHI yang terasa lebih sederhana dibandingkan tahun sebelumnya. Perlahan, para tamu mulai berdatangan, mengisi kursi yang awalnya kosong.
Di pintu masuk, dua meja disiapkan. Meja pertama untuk para undangan non-anggota, sementara meja kedua untuk anggota PBHI. Khusus bagi anggota, ada satu kanvas lebar berukuran 2x1,5 meter yang ditempel di atas papan tulis putih. Di atas kanvas itu, setiap anggota diminta menuliskan refleksi singkat tentang 10 tahun perjalanan PBHI.
Kanvas Penuh Makna
Bang Johnson, dengan gaya khasnya, maju ke kanvas dan menuliskan sebuah kalimat yang singkat namun kuat, “Bersama kita melawan impunity.” Di sampingnya, Hendardi—tokoh yang dihormati di PBHI—berdiri memandangi kanvas, terlihat berpikir keras. Tangan kirinya menggaruk kepala, menandakan kebingungan kecil. Freddy yang melihatnya dari jauh, tidak bisa menahan godaannya. “Udah Pak Hen, gak usah bingung-bingung, tulis aja...!” katanya, dan tawa kembali membahana. Hendardi akhirnya menulis, “Semoga PBHI tetap menjadi organisasi yang membela orang-orang yang dilemahkan oleh penguasa.”
Suasana semakin cair, seiring banyaknya anggota yang ikut menuliskan refleksinya. Bahkan Baim, meski belum resmi menjadi anggota, tetap memaksa menorehkan sepatah kata di kanvas itu. Sebuah tanda cinta yang tulus terhadap PBHI, tempat ia merasa tumbuh dan berjuang bersama.
Harmoni Anak Sanggar Akar
Sementara itu, anak-anak dari Sanggar Akar mulai memainkan alat musik. Suara gitar, bass, kendang, suling, biola, dan flut berpadu menjadi alunan melodi yang harmonis. Meskipun usia mereka masih belasan, keterampilan mereka dalam bermusik memukau semua yang hadir. Tamu undangan, yang sebagian besar merupakan figur senior di PBHI, tersenyum dan sesekali terlihat terbawa irama. Di antara mereka, terlihat Luhut M.P. Pangaribuan, advokat kondang yang pernah memimpin Majelis Anggota PBHI, duduk tenang menikmati musik.
Ibu Zoemrotin K. Soesilo, salah satu pendiri PBHI, juga hadir, berdampingan dengan Hendardi. Mereka mengamati suasana dengan senyum yang penuh kebanggaan atas 10 tahun perjalanan organisasi yang mereka bangun bersama.
Refleksi Bang Johnson
Dalam pidato singkatnya, Bang Johnson menyampaikan alasannya mengapa perayaan tahun ini dibuat sederhana. “Biasanya ulang tahun ke-10 adalah momen yang penting. Tapi mungkin banyak yang bertanya-tanya, kok ulang tahun kali ini tidak sehebat tahun lalu? Kebetulan ulang tahun PBHI kali ini bertepatan dengan hari besar Idul Fitri, jadi masih dalam suasana halal bihalal.”
Ia menutup pidatonya dengan harapan agar PBHI lebih berani terjun dalam masalah-masalah masyarakat yang lebih rumit di masa depan. “Saya berharap di usia ke-10, PBHI semakin dibutuhkan oleh masyarakat,” katanya, penuh keyakinan.
Di Balik Lensa
Sementara acara berlangsung, saya sibuk di balik lensa kamera, mengambil foto-foto dari setiap sudut ruangan. Peran ini sepertinya sudah menjadi tanggung jawab saya. Mungkin karena seringnya saya dipanggil untuk menjadi fotografer dadakan di setiap acara, Mbak Diah kali ini menunjuk saya untuk bertanggung jawab penuh atas dokumentasi perayaan ini. Di antara tawa dan refleksi yang tertuang di kanvas, saya menangkap momen-momen kehangatan dan kebersamaan yang hanya ada di PBHI.
Doa di Ulang Tahun PBHI: Antara Kaget dan Tanggung Jawab
Saat saya sedang sibuk memotret Bang Johnson yang sedang memberikan pidato, tiba-tiba Mbak Diah datang mendekat. Wajahnya serius, tanpa basa-basi. "Fan, setelah Bang Johnson selesai pidato, kamu siap-siap baca doa, ya. Setelah doa, baru nanti Bang Johnson potong nasi tumpeng," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu saya, memberi isyarat bahwa waktunya sudah hampir tiba.
“Hah... sekarang, Mbak? Kok cepat amat? Bukannya doa itu biasanya di akhir acara?” tanyaku, sedikit terkejut. Tapi, Mbak Diah langsung memotong. “Enggak, sekarang aja, biar lancar acaranya,” ucapnya dengan nada tegas. Saya pun tidak punya pilihan lain, segera menyiapkan diri.
Sebenarnya, ini bukan bagian dari rencana awal. Ketika briefing sebelumnya, tak ada satu pun yang menyebutkan bahwa saya akan membaca doa. Tugas ini awalnya ditugaskan kepada orang lain. Bogel, teman seperjuangan di PBHI, semestinya yang bertanggung jawab mencari orang yang akan memimpin doa. Tapi pagi itu, dia menghampiri saya dan menyerahkan secarik kertas dengan tulisan Arab di atasnya—pembuka doa dalam ajaran Islam. Sisanya dalam bahasa Indonesia. “Mbak Diah udah setuju, loe yang mimpin doa nanti,” katanya tanpa basa-basi. Tidak ada ruang untuk menolak.
Sejenak saya tertegun. Dalam hati saya bergumam, “Gimana bisa? Saya bukan rohaniawan, sholat saya aja kadang masih bolong-bolong.” Tapi, dengan kondisi yang mendesak dan tidak ada pilihan lain, saya putuskan untuk menerima tanggung jawab ini. “Ya sudahlah, demi PBHI,” pikir saya sambil menarik napas panjang.
Dalam dua jam yang tersisa, saya kejar target untuk menyempurnakan teks doa yang diberikan Bogel. Duduk di depan komputer, mengetik dengan fokus penuh, diselingi beberapa kali menutup mata, mencoba mencari inspirasi. Hasilnya, teks doa yang awalnya hanya satu halaman berubah menjadi dua halaman penuh. “Sudah, cukup ini,” gumamku dalam hati, merasa sedikit lega.
Saat Doa Tiba
Usai Bang Johnson menutup pidatonya, Freddy—presenter acara—dengan suara lantang memanggil nama saya. “Fan, silakan maju untuk membawakan doa.” Dengan peci hitam di kepala, T-shirt PBHI yang menjadi seragam kebanggaan, dan celana jeans biru gelap, saya maju ke depan, mencoba menenangkan diri.
Di depan audiens, saya memulai doa. Intonasi saya atur; kadang tinggi, kadang rendah. Saya memainkan ekspresi wajah dengan hati-hati, berharap menyampaikan ketulusan dari setiap kata. Di tengah suasana itu, terasa bagaimana momen sederhana ini menjadi sakral—ulang tahun PBHI yang ke-10, sebuah perjalanan panjang, diakhiri dengan doa yang saya panjatkan dengan hati, meski terasa tidak pantas. Tapi untuk PBHI, semuanya menjadi layak.
PBHI: Doa, Kontemplasi, dan Euforia Ulang Tahun
Malam itu, usai membacakan doa di perayaan ulang tahun PBHI yang ke-10, suasana meriah terpecah oleh berbagai komentar. Koh Alay, seorang simpatisan PBHI, dengan logat khas Tionghoanya, langsung menyapa saya. “Fan... Belapa hali lu buat tuh doa...? Gila lu ya...?” canda Koh Alay, membuat tawa ringan pecah di antara kami.
Kemudian Maya, kepala divisi saya, juga tak mau ketinggalan memberikan komentarnya. “Waduh, Irfan, doamu itu kayaknya hasil kontemplasi panjang ya?” katanya sambil tersenyum kecil, memberikan sedikit penghargaan pada usaha saya. Tapi tak semuanya memuji tanpa sindiran. Ada seorang kawan yang berkomentar lebih tajam. “Fan... kayanya doa lu itu beda-beda tipis ya. Antara baca doa, atau baca puisi?” katanya sambil menyeringai, menyinggung gaya saya yang mungkin terlalu teatrikal. Memang, entah karena tekanan, doa yang saya panjatkan terasa seperti kombinasi antara doa dan orasi puisi—lebih seperti seorang demonstran yang tengah menggelorakan semangat massa daripada sekadar berdoa.
Freddy, sang presenter acara, kemudian mengakui, “Gue dengar lu dari belakang panggung, Fan. Pas banget waktu lu singgung situasi yang sedang terjadi. Doanya aktual banget!”
Komentar seperti ini, diselingi tawa dan candaan, terus berdatangan. Yadi, kawan dari staf kantor, menambahkan, “Wah bang, mantap doanya. Bakat juga lo jadi pembaca doa.” Saya hanya bisa tersenyum dan menjawab sambil bercanda, “Hah, lu beneran dengerin doa gua juga? Gua pikir gak ada yang serius dengerin.”
Malam di Ulang Tahun PBHI
Meski dalam kesederhanaan, perayaan ulang tahun PBHI kali ini cukup meriah. Para tamu sudah bubar, tapi di antara kami yang masih tersisa, masih ada euforia yang terasa. Pukul 20.00 acara resmi berakhir, namun rasanya belum lengkap. Masih ada “session anak muda” yang berlangsung di belakang panggung. Beberapa dari kami memutuskan untuk berkumpul lagi, melanjutkan obrolan, bercanda, dan merayakan dengan cara kami sendiri hingga tengah malam. Ini bukan hanya sekadar acara formal, tapi juga perayaan kebersamaan yang mengakar di antara kami, seakan setiap tawa dan percakapan yang terjadi adalah perpanjangan dari doa yang sebelumnya saya panjatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar