Pagi itu, Senin 8 Agustus 2016, ketika matahari baru saja mulai merayap di ufuk timur, aku menyusuri jalan sempit menuju rumah seorang teman lama. Dahulu, ia seorang seniman, seorang penyair yang selalu membawa aroma mimpi-mimpi besar dalam setiap pertemuan. Kini, ia hidup dari kolam-kolam lele, menggantikan kanvas dan pena dengan air keruh dan benih ikan.
Aku datang dengan sedikit perasaan bersalah, karena absen di pesta pernikahannya. Ia menyambutku dengan senyum lebar, seolah waktu tak pernah membelah kita. Di depan secangkir kopi panas, obrolan hangat mengalir, mengurai berbagai pertanyaan yang sejak lama kusimpan tentang pilihannya beralih profesi. Di sudut pikiranku, ada sedikit rasa heran: seorang seniman menjadi peternak lele? Apa yang mendorongnya?